• Kembali ke Website Pertuni - www.pertuni.or.id
  • Testimony
  • Berita Tunanetra
  • Blog
  • World Blind Union Publications


  • Buku Tamu



    Selamat datang.

    Anda adalah pengunjung ke
    View My Stats Silakan isi
  • Buku Tamu
  • Terima kasih.
  • Lihat Buku Tamu




  • Blogger Tunanetra

  • Balita Tunanetra - www.balitatunanetra.blogspot.com
  • Didi Tarsidi: Counseling and Blindness – www.d-tarsidi.blogspot.com
  • Rachel: Remang-remang – www.remang-remang.blogspot.com
  • Suratim: Inspirational, Motivational, Business, Financial & Adaptive Service for The Blind – www.blindentrepreneur.wordpress.com
  • Rina Prasarani Alamsyah: www.rina-alamsyah.blogspot.com
  • Asib Edi Sukarsa: Reglet – www.reglet.wordpress.com
  • Yuni Hortensia: Bersama Aku dan Tulisanku – www.yunihortensia.blogspot.com
  • Suryandaru: www.suryandar.blogspot.com
  • Nensi: Karya Sastraku yang Sederhana – www.diksi28.blogspot.com
  • Ai Cahyati: My Daily Notes – www.a-cahyati.blogspot.com
  • Fatmawati: fathie-Luarbiasa – www.fathie-luarbiasa.blogspot.com
  • Hendra: Pianoman75 – www.pianoman75.multiply.com
  • Irwan Dwi Kustanto: Angin pun Berbisik – www.anginpunberbisik.blogspot.com
  • All about Balqiz – www.allaboutbalqiz.blogspot.com
  • Zulkifli: www.kambusong.multiply.com
  • DPD Pertuni Jawa Tengah – www.pertunijateng.blogspot.com
  • Ario Surya: Informasi bagi Tunanetra - www.rio-plb.blogspot.com
  • Chrysanova Dewi: Mata Hatiku - http://www.chrysanova.co.cc/


  • Daftar Isi

  • Rina, Pekerja Tuna Netra di Hotel Bintang 5
  • Lukman Hakim Harahap, S.Ag., Ketua DPD Persatuan Tunanetra Indonesia(PERTUNI ) Sumut
  • Bart Hagen, Hakim Tunanetra
  • Miles Hilton Barber, Pilot Tunanetra Sukses Terbangkan Pesawat Microlight
  • Agung Rejeki Yuliastuti, Tunanetra yang Jadi Psikolog
  • Saharuddin, Tunanetra Pejuang HAM
  • Bambang Basuki, Tunanetra Pendiri Yayasan Mitra Netra
  • Setia Adi Purwanta, Kebutaan adalah Kesempurnaan
  • Angin pun Berbisik: Kumpulan Sajak Cinta
  • Dengan Hati Melihat Dunia
  • Hendra Jatmika Pristiwa: Kami juga Harus Melek Teknologi
  • Wacih Kurnaesih Menulis dengan Rasa
  • DIDI TARSIDI, SEMANGAT JUANG DAN KEARIFAN TUNANETRA




  • Jumat, 31 Oktober 2008

    Bambang Basuki, Tunanetra Pendiri Yayasan Mitra Netra

    Batam Pos, Kamis, 26 Juli 2007


    Penyandang Cacat adalah Manusia dengan Tantangan Istimewa

    How are you Pak Bambang? Sombong ya sekarang? Lama tidak ngobrol-ngobrol. Gimana kabarMitra? Sapaan itu meluncur dari mulut banyak orang yang mengikuti pembukaan konferensi nasional ke-1pendidikan tunanetra, di Hotel Golden View, Selasa (24/7) lalu. Sambil mengucapkan kata-kata itu, mereka denganhangat menyalami Bambang Basuki, pria 57 tahun yang mengalami kekurangan dalam penglihatan ini. Penasaran dengan siapa sosok yang acap kali disapa orang ini, Batam Pos mengajukan pertanyaan yang langsungdijawab dengan tawa. Mereka tahu saya dari Yayasan Mitra Netra. Mereka semua sahabat-sahabat yang menyenangkan katanya seraya menyeruput teh yang baru saja diambilkan seorang suster kepadanya. Dulu, katanya, dia adalah pendiri Yayasan Mitra Netra, yayasan non profit yang memberi layanan yang tepat dan inovatif kepada para tunanetra. Siapa yang lebih mengerti tunanetra kalau bukan tunanetra itu sendiri, betulkan? katanya. Bambang menceritakan ihwal ia menjadi tak bisa melihat sama sekali. Awalnya, ia terlahir sebagai anak berpenglihatan normal. Sewaktu duduk di kelas dua SMA, ia mulai merasa penglihatannya bermasalah. Meski begitu, ia berhasil menamatkan pendidikan SMA-nya dengan nilai cukup baik. Dari sana, ia mulai menjalani operasi. Menurut dokter, papar ayah tiga orang anak ini, ia mengalami degenerasi kornea. Ini menyebabkan ia mengalami glukoma yang mengganggu keseimbangan cairan bola mata.
    Akibatnya, mata menekan saraf dan membuatnya pusing dan terakhir, tak bisa melihat. Mengatasi hal itu, ia sempat menjalani tujuh kali operasi. Namun akhirnya ia menyerah dan terpaksa menerima bahwa ia telah jadi tunanetra. Layaknya kebanyakan orang yang mengalami cacat tiba-tiba, Bambang juga sempat stres dan sesak nafas. Masa ini,katanya, adalah masa kritis baginya dan bagi setiap orang yang mengalami hal serupa. Di masa ini, ada tiga kemungkinan alasan. Jika cacat itu karena kelalaian orangtua, kita akan menyalahkan orangtua. Jika karena kelalaian sendiri, kita tidak akan pernah memaafkan diri sendiri, dan jika karena sakit yang diberikan Tuhan, kita pun akan marah kepada Tuhan. Ini yang saya alami. Saya marah dan menyesalkan, kenapa Tuhan berbuat ini kepada saya, katanya mengenang kejadian puluhan tahun lalu. Ia baru bangkit dan berhenti menyesali Tuhan sejak ia mulai mendengar sebuah ceramah di radio. Kala itu ia mendengar sebuah hadis kudsi yang mengatakan bahwa orang yang kehilangan kedua penglihatan, tapi ia sabar dantawakal, maka dia akan mendapat imbalan yang lebih di banding yang lain. Inilah yang kemudian menjadi cemeti baginya untuk bangkit setelah lima tahun terus menyesali keadaannya. Sejak itu, saya melihat diri saya sebagai orang laknat. Tidak bisa melihat maksud Tuhan. Saya mulai berpikir danmengubah paradigma saya.
    Penyandang cacat adalah manusia dengan tantangan istimewa. Begitu juga dengan orang di sekitarnya. Jika mereka bisa mengatasi dengan baik, maka dia juga akan menjadi orang yang istimewa, katanya.

    Kamis, 30 Oktober 2008

    Setia Adi Purwanta, Kebutaan adalah Kesempurnaan

    Oleh Nur Hidayati. Kompas, Kamis, 05 Juni 2003

    SEBUAH kecelakaan membuat Setia Adi Purwanta mengalami kebutaan total sejak tahun 1976. Seusai masa-masa frustasi, asisten apoteker yang terpaksa mengakhiri kariernya itu mulai memperjuangkan pendidikan dan lingkungan yang terbuka bagi penyandang cacat.
    Bagi Setia (50), cacat fisik bukan ketidakmampuan (disability), melainkan kemampuan yang berbeda (different ability). Kini ia bukan hanya mengajar matematika dan bahasa Inggris di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Bantul, Yogyakarta.
    Setia juga berupaya membangun jaringan advokasi dan pengembangan diri bagi penyandang cacat. Kiprah ini mengantarnya menggali pengalaman di berbagai negara.
    Sepulang mengajar, Setia berkantor di Dria Manunggal, lembaga penelitian dan pemberdayaan penyandang cacat yang ia dirikan pada tahun 1991. United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP) menobatkan lembaga ini sebagai pemenang kedua penghargaan pengembangan sumber daya manusia di Asia Pasifik tahun 2000.
    Dria Manunggal mengupayakan agar penyandang cacat menguasai keterampilan produktif, dari kerajinan tangan, pertanian hidroponik, hingga penguasaan komputer.
    Selain itu, lembaga tersebut juga menjalankan beragam upaya advokasi, antara lain menyusun usulan perundangan lengkap dengan standar teknis aksesibilitas fasilitas umum dari tahun 1996 hingga tahun 1998.
    Di Jalan Malioboro, Yogyakarta, seorang tukang pijat tunanetra mengenal Setia sebagai pemrakarsa yang menggerakkan komunitas seni Malioboro bersama Pemerintah Provinsi DIY, Departemen Perhubungan, dan Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada, membangun jalur penuntun bagi penyandang cacat di sepanjang sisi barat jalan itu.
    Kini, belasan sukarelawan bekerja bersama Setia di kantor Dria Manunggal yang sederhana di Jalan Wates, Yogyakarta. Beberapa di antara para sukarelawan ini berasal dari Jepang dan Perancis.
    Ayah dari tiga anak, salah satunya penyandang tunanetra dan tunagrahita yang ia adopsi sejak bayi ini, dapat dikatakan sebagai aktivis dengan "jam terbang" tinggi.
    Namun, ia tetap melakoni tugas sebagai guru SLB.
    "Mengajar membuat saya dekat dengan anak-anak yang dikatakan cacat itu. Saya kenali betul kelemahan dan ketidakadilan dunia pendidikan bagi anak-anak ini," ujar pegawai negeri sipil ini.
    Setia masih harus bekerja keras mewujudkan impiannya, tetapi kebutaan telah dirasakannya sebagai karunia.
    "TUHAN menciptakan setiap makhluknya dengan sempurna.
    Kebutaan ini adalah kesempurnaan saya sebagai ciptaan Tuhan," katanya.
    Pria kelahiran Madiun tahun 1953 ini sempat terguncang ketika ia mendadak menjadi buta.
    "Mengapa saya yang dibuat buta oleh Tuhan. Padahal, orang yang lebih brengsek dari saya saja enggak dibuat buta," kata Setia mengungkapkan gugatannya ketika itu.
    Di tengah kegalauan, keluarga dan kawan-kawan dekat mendorong Setia meninggalkan Surabaya, kota tempat tinggalnya ketika itu, untuk menempuh studi di Sekolah
    Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) di Yogyakarta.
    "Masa sekolah di SGPLB itu saya masih penuh amarah. Saya bisa bersikap kasar sekali pada guru," tuturnya.
    Kemarahan Setia meleleh ketika ia memulai praktik mengajar sejumlah anak tunanetra di akhir masa pendidikan SGPLB tahun 1978.
    "Anak-anak itu bersekolah, tapi apa yang bisa mereka dapat? Akan jadi apa mereka, hanya jadi tukang pijat?" keluhnya resah.
    Setia tidak mempercayai pola pendidikan yang sepenuhnya eksklusif. Memisahkan penyandang cacat dari masyarakat umum, diyakininya tidak akan membuahkan kemandirian dan pemenuhan hak asasi bagi penyandang cacat.
    "Kalau saya pergi kondangan dan tuan rumah langsung menggiring saya berkumpul dengan sesama tunanetra, bagaimana saya bisa tahu pengantinnya cantik atau enggak?" ujarnya sambil tertawa.
    Berbincang dengan Setia tak akan lepas dari canda. Pria yang menamatkan pendidikan pascasarjana bidang pendidikan di IKIP Yogyakarta (kini Universitas Negeri Yogyakarta) ini tidak lupa menikmati hidup.
    Ia menggemari musik klasik, suka "mendengarkan" film,
    "mendengarkan" matahari terbit ketika berlibur ke pantai, dan menikmati berbagai perjalanan.
    Dengan detail, ia bisa menggambarkan kota-kota yang paling mengesankannya, antara lain Beijing di Cina.
    Tuturnya, "Saya memang tidak bisa melihat, tapi saya bisa merasakan suasana ketika jalan-jalan ke pasar tradisional yang bersebelahan dengan sebuah mal di Beijing itu. Lagi pula, teman diskusi di jalan biasanya tidak susah ditemukan."
    Dukungan sang istri, Suharti (49), tentu luar biasa berarti bagi Setia. Suharti yang sebelumnya mendukung perekonomian keluarga dengan menjahit pakaian pesanan turut belajar di SGPLB. Wanita asal Madiun ini kemudian mengajar di SLB bersama sang suami.
    Setiap hari Suharti memboncengkan suaminya bersepeda motor ke SLB tempat mereka mengajar.
    "Biarpun dapat tumpangan, tapi enggak gratisan, lho.
    Kan, saya yang ngengkol stater-nya," tambah Setia.
    KEYAKINAN akan keadilan Tuhan membuat Setia berpendapat, pada dasarnya tidak ada orang cacat di dunia. Label
    "cacat" yang diberikan masyarakat dan penerimaan diri si penyandang label itulah yang menyebabkan orang menjadi cacat.
    "Padahal, selalu ada tugas yang diemban setiap orang dengan keadaan diri sebagaimana adanya. Seorang yang kehilangan kaki misalnya, punya cara yang berbeda untuk menjalani tugas hidupnya dengan seorang yang lain," jelas Setia.
    Pola diskriminasi yang mengikuti pelabelan itu bukan saja meluas dalam segala aspek kehidupan publik. Namun, Setia memandang diskriminasi dalam keluarga dan lingkungan terdekat pun tak kalah. "Ketika sebelah tangan bayi yang cacat ditutupi selendang saat selamatan kelahiran, diskriminasi sudah dimulai," ujarnya.
    Dunia pendidikan formal, di mata Setia, sering menampilkan salah satu bentuk diskriminasi yang paling mencolok. Ia meyakini, tanpa proses pembelajaran yang baik, pola eksklusif rehabilitatif yang diterapkan pemerintah, misalnya, pada sekolah sejenis SLB, hanya menjadi sebentuk isolasi bagi anak-anak yang dikatakan cacat.
    TAHUN ini UNESCAP memberikan dukungan pada Setia melalui Dria Manunggal, yang ia kelola, untuk mengembangkan komunitas inklusif bagi orang-orang berkemampuan berbeda ini di lima lokasi di Yogyakarta.
    Bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Nasional DI Yogyakarta, uji model pendidikan bagi anak-anak dengan kemampuan berbeda juga dilakukan di enam sekolah dasar dan dua taman kanak-kanak di daerah ini.
    "Bukan hanya anak yang perlu disiapkan dalam pola ini, tetapi juga orang tua, guru, dan sarana," ujarnya.
    Sambil memainkan telepon selular yang selalu ia bawa, Setia berujar, "Kita sering lupa, anak-anak bukan hanya belajar dari guru dan orangtua, mereka juga belajar dari pergaulan dan teman-temannya. Jadi, jangan mencabut mereka dari dunia yang senyatanya, dunia yang apa adanya."

    Rabu, 29 Oktober 2008

    Angin pun Berbisik: Kumpulan Sajak Cinta

    Resensi oleh Jamal D. Rahman
    Harian Media Indonesia, rubrik Bedah Pustaka, 26 Januari 2008

    Judul : Angin pun Berbisik: Kumpulan Sajak Cinta

    Pengarang : Irwan Dwi Kustanto, Siti Atmamiah, dan Zeffa Yurihana

    Pengantar : Mohamd Sobary

    Penerbit : Jakarta: Sp@asi dan Yayasan Mitra Netra, Januari 2008

    Tebal : xxvii + 164 halaman

    Puisi-puisi dalam buku ini lahir dari sebuah proses yang mengharukan. Ditulis oleh sebuah keluarga, Irwan Dwi Kustanto (suami/ayah), Siti Atmamiah (istri/ibu),
    dan Seffa Yurihana (anak), puisi-puisi itu adalah ekspresi, saksi, sekaligus dokumentasi pasang-surut cinta, rindu, cemburu, kesedihan, dan kebahagiaan
    dalam hubungan suami-istri dan ayah-ibu-anak.

    Menginjak usia 9 tahun, Irwan mengalami gangguan penglihatan. Usaha penyembuhan dilakukan dengan berbagai cara, tapi dokter akhirnya menyimpulkan bahwa
    retina kedua matanya rusak total. Ia harus menerima kenyataan bahwa dia kini adalah seorang tunanetra. Dengan perasaan kecewa dan putus asa, pria kelahiran
    Jakarta, 7 November 1966, ini memasuki babak baru hidupnya yang gelap. Tak bisa lagi melihat dengan awas adalah sebuah pukulan sekaligus beban mental yang
    amat berat.

    Pukulan berat yang takkan terlupakan dialami Irwan ketika dia kuliah filsafat pendidikan di IKIP Muhammadiyah Jakarta. Dengan kesadaran penuh bahwa dia
    kini seorang tunanetra, dia bercita-cita menjadi guru. Ketika itu dia sudah fasih baca-tulis huruf Braille. Tapi setelah menyelesaikan semester 1, perguruan
    tinggi itu tidak membolehkan Irwan melanjutkan kuliah ke semester berikutnya. Alasannya sungguh menyakitkan: “Calon guru tak boleh cacat.” Dengan hati
    pedih, dia pun pergi meninggalkan kampus itu.

    Tapi Irwan tidak kalah. Dia akhirnya kuliah filsafat Islam di IAIN (kini: UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan berhasil merampungkannya di tahun 2004.
    Maka dia fasih berbicara filsafat, baik klasik maupun modern, dari Al-Kindi hingga Murtadha Muthahhari, dari Thales hingga Habermas. Di antara filsuf yang
    dikaguminya adalah Muhammad Iqbal, penyair dan filsuf Pakistan itu. Tidaklah mengherankan kalau dia menyukai sajak atau puisi, di samping filsafat.

    Irwan bahkan menulis semacam kredo puisi, sebuah sikap kepenyairan yang jelas berlatar hidupnya sebagai seorang tunanetra sekaligus seorang sarjana filsafat
    yang menyadari keterbatasan rasio. Dia menulis, “Tatkala mata fisikku tak lagi sempurna menggambarkan dan memproyeksikan benda-benda ke dalam otak dan
    pikiranku, maka hati dan jiwaku menggantikannya dengan ketajaman penglihatan yang sungguh dahsyat. Begitulah, aku dihadiahkan oleh Tuhan dan alam kasih
    sayang yang melimpah, aku dibiarkan untuk mengenali dirinya dengan caraku sendiri ....

    Dunia yang terkurung oleh petak-petak dalam rasio manusia terpancar menyatu dalam gelora dan kelembutan makna hadirku, aku terbiasa dengan sentuhan jari,
    penciuman, pendengaran serta terkadang kilatan-kilatan rasa yang membuatkehadiran dunia menjadi berdimensi dan utuh. Kesan-kesan yang menggurat lantas
    menjadi begitu hidup, seakan berbicara dengan huruf-huruf, kata demi kata dan akhirnya menjelma sebagai sajak.

    Sajak bagiku kehidupan, baik dituliskan atau dilisankan, bahkan jika hanya tersimpan dalam relung hati sekalipun. Dia tetap tumbuh dan berkembang, memberi
    segala rupa, makna dan rahasia kepada siapa pun yang menginginkannya hidup. Dalam kegelapan dan redupnya cahaya yang mampir ke dalam mataku, sebait sajak
    bernilai berjuta gambar bagi siapa pun yang mendengar atau menbacanya, oleh karenanya dengan sajak dunia begitu berwarna, meriah, agung dan indah bagiku.”

    Di IAIN Syarif Hidayatullah, Irwan bertemu dengan Siti Atmamiah, kakak kelasnya yang juga menyukai puisi. Kepada perempuan bermata awas yang kemudian menjadi
    istrinya inilah, puisi Irwan berikut ini (mungkin) dialamatkan: rembulan cinta, senyum menjelma/ menetaslah rindu/ tatkala bermula, senja termangu/ dan
    saat malam menggeliat, tak henti-henti/ kusebut namamu (hal. 37). Mereka kini dikaruniai 3 anak: Zeffa Yurihana, Zella Adilati, dan Zeyyina Kayyis Kaila.

    Hidup bahagia sebagai sebuah keluarga, tuntutan kenyataan memaksa mereka hidup terpisah sejak tahun 2004. Karena alasan pekerjaan, Irwan tinggal di Jakarta,
    sementara istri dan ketiga anaknya tinggal di Tulungagung, Jawa Timur, karena alasan orangtua sang istri. Praktis Irwan berjumpa istri dan anak-anaknya
    hanya pada hari-hari libur.

    Tapi jarak tak memisahkan keluarga bahagia ini. Jarak tak lain adalah sebuah jembatan melalui mana rindu, kesedihan, dan kebahagiaan bersama selalu dihubungkan.
    Jarak adalah sebuah ruang dimana cinta menemukan biru apinya yang kekal dan menyala-nyala. Dari sanalah puisi-puisi mereka lahir. Dalam kata-kata Atmamiah
    sendiri, “... puisi ini lebih terinspirasi oleh perasaan yang timbul akibat sebuah jarak, rindu, kesedihan yang benar-benar niscaya, dan cinta yang paling
    agung dan abadi —dunia tak pernah segelap ini.”

    Maka membaca puisi dalam buku yang diluncurkan Rabu (23/1) lalu ini, adalah membaca kesedihan sekaligus kebahagiaan yang menggelora dalam biru api cinta
    yang menyala-nyala. Kesedihan dan kebahagiaan, kesabaran dan ketabahan, impian dan harapan, terdengar bersahut-sahutan di halaman-halaman buku ini, seakan
    suara samar yang melintas-lintas antara Jakarta-Tulungagung. Inilah dendang cinta Irwan Dwi Kustanto dari Jakarta:

    Cintaku padamu

    Adalah sungai berbatu

    Yang selalu

    Berkelebat bayang camar

    Enggan mendarat

    Bertiup angin meminta pulang

    Pada gelisahmu yang runtuh karena gerimis

    Di senja menjelang galungan

    Di mana kau tempatkan sesaji pada dukaku

    ...

    (hal. 9)

    Seakan menyahuti dendang cinta itu, di Tulungagung Siti Atmamiah pun bernyanyi sendu:

    Sepagi ini engkau terbangun

    Kutahu mimpimu belum sempurna

    Kau genggam sepotong rembulan jatuh di wajahmu

    Matamu yang terpejam

    Bukan karena engkau tertidur

    Belajar membaca pertanda

    Pada jubah yang memnuimpan rahasia semesta:

    Laut melumat pasir saat gelombang pasang

    Awan mengarak burung saat kehabisan dahan

    Bulan yang terluka

    Kecipak air muara

    Matamu yang memejam

    Mengharap harum bunga

    Tak usah dinanti melati mekar

    Bila kuncupnya membuatmu merangkai cinta.

    (hal. 125)

    Siti Atmimiah berdendang pula, sebuah dendang rindu dari jauh:

    Berjalan engkau

    Saat senja baru saja pergi

    Sebutir kenangan yang lewat

    Mencari-cari jemarimu yang muram

    Tak ada awalnya

    Ketika kita bertemu

    Merapatlah

    Dadaku penuh gelora

    Di sini darah sedang mengalir deras

    Mengejar sekumpulan awan

    Yang membawa kabar:

    “Esok sore engkau akan datang”

    (hal. 127)

    Dan Zeffa Yurihana? Seperti ibunya, anak 11 tahun itu berharap sang ayah selalu ada di sampingnya, harapan yang dia tahu sedekat ini tak mungkin terpenuhi.
    Maka harapan dan permintaannya bersifat penuh seluruh, sebuah permohonan anak-anak yang memelas dan mengharukan:

    Kali ini saja kumeminta

    Kali ini saja kumemohon

    Di suatu hari nanti

    Kutakkan meminta lagi

    Kau harus bersamaku

    Takkan meninggalkanku

    Hidup ini serasa sempurna

    Karena ada kau di sampingku

    Kali ini saja kumeminta padamu

    Untuk menyempurnakan jalan hidupku

    (hal. 148).

    Di atas gelora cinta itu, dalam kesedihan dan kebahagiaan keluarga, dan dengan keterbatasannya sebagai seorang tunanetra namun dengan ketajaman mata lahir-batinnya
    yang luar biasa, Irwan Dwi Kustanto kini mengabdikan diri untuk memenuhi hak-hak kaum tunanetra. Di Indonesia, jumlah tunanetra mencapai 3 juta orang atau
    1,5% penduduk. Sebagai wakil direktur eksekutif Yayasan Mitra Netra, Jakarta, yang dijabatnya sejak 2001, Irwan mengembangkan sistem simbol Braille Indonesia,
    menciptakan Mitra Netra Braille Converter (sebuah perangkat lunak penkonversi aksara komputer ke aksara Braille), menggagas kamus elektronik untuk tunanetra,
    dan menggagas program Seribu Buku untuk Tunanetra. Di samping itu, pria yang sempat aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini adalah instruktur nasional
    untuk pengembangan simbol Braille Indonesia.

    Jika sajak bagi Irwan adalah kehidupan, sebagaimana diakuinya sendiri, maka kreativitas dan produktivitas mengatasi jarak dan ketunanetraan adalah kehidupan
    Irwan yang sesungguhnya.***

    Pondok Cabe, 24 Januari 2008

    Jamal D. Rahman, penyair, pemimpin redaksi majalah sastra Horison

    Dengan Hati Melihat Dunia

    Kick Andy, Metro TV Online

    Ditayangkan Kamis, 14 Februari 2008

    Apa jadinya kalau tunanetra nge-blog? Ternyata tidak jauh berbeda dengan blog-blog kebanyakan yang notabene dibuat oleh orang ’awas’. Coba saja tengok
    ramaditya.com, blog milik seorang tunanetra bernama Ramaditya. Di dalamnya, kita bakal disuguhi cerita-cerita yang ditulis Rama secara deskriptif dan menarik.

    Asyiknya lagi, para pengunjung blog juga bisa mendownload musik-musik game karya Rama secara gratis. ”Saya memang ingin memasyarakatkan musik game dan
    memusik-gamekan masyarakat,” ujar Pria yang berprofesi sebagai sound engineer lepas untuk perusahaan game Nintendo dan juga sebagai jurnalis ini.
    Karibnya Rama dengan perangkat teknologi memang mengagumkan. Meski memiliki kendala penglihatan, namun tidak menghalanginya untuk berkreasi melalui komputer.
    Bahkan Rama sempat mempertontonkan kebolehannya mengaransir musik game dengan suling-nya yang bernama Tiara dan kemudian diolahnya melalui laptop kecil
    kesayangannya bernama Via. Sontak alunan musik karya Rama ini mengundang applause para penonton yang hadir di studio malam itu.
    Ramaditya merupakan salah satu narasumber K!ck Andy pada episode DENGAN HATI MELIHAT DUNIA. Dalam episode kali ini, Kick Andy memang berupaya menghadirkan
    rekan-rekan tunanetra yang mengenyampingkan segala keterbatasannya dan berhasil membuktikan eksistensi mereka melalui kreatifitas.
    Seperti hal-nya yang dilakukan oleh Irawan Mulyanto, Dimas, Aries dan Rafiq. Ke-empat pria ini adalah orang-orang dibalik website Kartunet.com. Kartunet
    sendiri merupakan akronim dari Karya Tunanetra yang memang menyajikan karya-karya dari para tunanetra seperti puisi, cerpen, esei maupun cerita-cerita
    lucu. Irawan yang biasa disapa Iwa ini, mengatakan bahwa dirinya dan teman-teman memiliki mimpi bahwa satu hari nanti web karya tunanetra ini bisa menjadi
    sumber pendapatan bagi tunanetra. Seperti adanya pengiklan ataupun menjadi sebuah radio on line. ” Sekarang ini kami masih membiayai sendiri dengan cara
    urunan,” jelas Iwa yang sehari-hari juga bekerja sebagai operator telepon di Metro TV.
    Dalam episode kali ini juga diangkat seputar program GERAKAN SERIBU BUKU UNTUK TUNANETRA. Buku merupakan jendela dunia. Banyak hal dapat diperoleh lewat
    buku. Namun bagaimana dengan teman-teman para tunanetra? Sudahkah kebutuhan mereka akan buku berhurup braille, terpenuhi dengan baik? Jawabannya adalah
    belum! Menyadari begitu pesatnya perkembangan buku dewasa ini, namun sedikit sekali buku yang bisa dibaca oleh kalangan tunanetra, maka Yayasan Mitra Netra
    pun memprakarsai lahirnya GERAKAN SERIBU BUKU UNTUK TUNANETRA tersebut.
    Menurut humas Yayasan Mitra Netra, Aria Indrawati, program yang sudah berlangsung selama dua tahun terakhir ini memang bertujuan mengajak masyarakat berpartisipasi
    dalam pengadaan buku bagi para tunanetra. Khususnya bagi para penerbit dan penulis buku diharapkan bersedia memberikan ijin dengan meminjamkan soft file
    buku-bukunya untuk diterbitkan dalam versi braille. Meski belum bisa dibilang banyak, namun ada beberapa kalangan penulis maupun penerbit yang telah terpanggil
    untuk berkomitmen meminjamkan soft file bukunya untuk di-braillekan ataupun dijadikan talking book. Salah satu-nya adalah motivator Andrie Wongso. Tak
    ketinggalan, presenter Metro TV, Meuthia Hafidz, juga berkesempatan mengijinkan bukunya yang berjudul 168 Jam Dalam Sandera untuk di-braille-kan.
    Dedikasi sepenuhnya terhadap program SERIBU BUKU UNTUK TUNANETRA ini juga dilakukan oleh Irwan Dwi Kustanto melalui antologi Angin Pun Berbisik. Dimana
    hasil penjualan buku kumpulan puisi yang merupakan karya bersama Irwan yang tunanetra dengan Siti Atmamiah, sang isteri, dan putri tercinta, Zeffa Yurihana
    ini nantinya akan digunakan untuk membiayai program yang turut ia cetuskan tersebut. Selama ini Irwan memang dikenal banyak melahirkan ide brilian bagi
    kemajuan kaum tunanetra. Diantaranya dengan mengembangkan sistem simbol braile Indonesia serta kamus elektronik untuk tunanetra.
    Tak ketinggalan, episode Kick Andy kali ini juga menyingkap cerita dari talenta-talenta tunanetra lain seperti Fiersha Hanifah si pemilik suara emas, serta
    melihat penampilan anak-anak teater MELDIC (Melihat Dengan Ilmu dan Cinta). Yang pasti, keterbatasan tidak menghalangi mereka untuk terus berprestasi dan
    berkreasi. Meski mata mereka tak mampu melihat, namun mereka masih mempunyai hati yang menjadi jendela untuk melihat dan mengubah dunia.

    Copyright © 2007 Website Team Kick Andy. All rights reserved.

    Hendra Jatmika Pristiwa: Kami juga Harus Melek Teknologi

    Oleh Agus Rakasiwi, Pikiran Rakyat, 24 Juli 2008


    Hai. Posting yang pertama ini aku ingin memperkenalkan diri. Namaku Hendra Jatmika Pristiwa. Aku adalah seorang tunanetra yang berprofesi sebagai musisi,
    arranger, dan juga entertainer.

    SEBUAH testimoni. Dia memuat salam perkenalan itu di situs blog-nya yang beralamat di hendramusic.wordpress.com pada 9 Agustus 2007.

    Hendra adalah seorang suami dan bapak. Ia menikah dengan Nenden Shintawati pada tahun 2003. Setahun kemudian, seorang bayi gadis yang bernama Aurora lahir
    dari buah perkawinan mereka. Bersama Nenden, yang juga tunanetra, ia mengerjakan sesuatu yang oleh sebagian orang dipandang sebelah mata.

    Pengakuannya sebagai musisi memang bukan isapan jempol. Sebuah kamar digunakan untuk memproduksi berbagai aransemen. Ruang kamarnya berukuran 3x2 meter.
    Berbeda dengan ruangan lain di rumahnya, ruangan ini dilengkapi pendingin ruangan. Layar monitor jenis flat lengkap dengan CPU dengan processor Quad Qore
    mengisi salah satu sisi ruangan. Masih ada lagi pelengkapan lain, seperti converter dan gitar. Di salah satu sisi dinding menggantung gitar, bass, dan
    biola. Yang tidak ada hanya sistem kedap suara, tetapi lebih dari lumayan untuk menarik perhatian orang lain.

    Di dalam ruangan itu, Hendra telah menggarap beragam lagu orang lain, di antaranya penggarapan dua lagu untuk untuk Joeniar Arief, bekas personel grup
    RnB
    Tofu. Ia juga punya album bertajuk Inspirasi bersama band Mahaguru, 2006.

    "Diskriminasi kadang kerap kali aku alami dulu ketika aku bersekolah dan kuliah, tetapi aku menganggapnya itu biasa aja… hehehe," tulis kawan kita yang
    bisa memainkan banyak alat, seperti, gitar, bass, drum, dan keyboard ini dalam bagian lain blog-nya.

    Mimpinya banyak, tetapi ia ingin mendapat pengakuan bahwa tunanetra juga bisa hidup dan berkarya seperti manusia pada umumnya. Jikalau mendapat kesempatan,
    ia merasa ingin pindah ke luar negeri. Alasannya, karena di negara lain aksesibilitas orang berkebutuhan khusus sangat diperhatikan. "Inginnya ke Eropa
    atau Australia," ujar sang istri, Nenden, yang pernah bernyanyi di hadapan Ratu Beatrix.

    Gitar sang paman

    Di dalam studio, ia terlihat asyik memainkan keyboard komputer. Dengan bantuan perangkat lunak JAWS, ia mencari data lagu yang tersimpan dalam komputernya.
    Ia ingin menunjukkan beberapa sampel lagu yang dibuatnya.

    Di kumpulan data lagu itu terdapat beberapa genre yang dibuatnya, dari jenis pop, jazz, RnB, disko sampai orkestra. Hanya dangdut yang tidak ada di data
    penyimpanan memori komputernya. "Nanti mungkin saya buat Jazz-Koplo," ujar kawan berusia 33 tahun ini diiringi suara tawa terbahak.

    Ia lahir sebagai tunanetra. Hanya dia dari dua saudara lainnya yang memiliki keterbatasan penglihatan. Hendra kecil tumbuh dalam situasi yang dianggapnya
    "normal". Rasa herannya muncul ketika bermain petak umpet. "Saya sering terbentur dan jatuh," ujarnya diiringi tawa lepas.

    Mengetahui kekurangannya, ia tidak berhenti bermain. Siapa pun diajaknya bermain dan benda apa saja ditanya dan dirabanya. Sampai suatu hari sang paman
    membawakannya gitar dan mengajarinya chord pada alat musik itu. Saat itu usianya lima tahun. Dua tahun berikutnya, syair ini melantun dari bibirnya:

    Let me take you down
    `Cause I`m going to strawberry fields
    Nothing is real
    And there`s nothing to get hung about
    Strawberry fields forever

    Karya The Beatles yang berjudul "Strawberry Fields Forever" itu dinyanyikannya. Dengan pengucapan Inggris yang terbata-bata, Hendra "menghajar" panggung
    17 Agustusan kala usianya 7 tahun. Inilah berkah gitar sang paman. "Walaupun bernyanyi dengan bayaran’ cap nuhun’ (tidak dibayar-red.)," ucapnya.

    Setelah banyak lembaga pendidikan umum mengikuti kebijakan menteri pendidikan tentang sistem pendidikan terpadu bagi penyandang ketunaan di sekolah umum,
    Hendra bisa memperoleh kesempatan lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN, kini SNMPTN). Tahun 1993, ia mulai menginjak kampus Insititut Keguruan
    dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (sekarang UPI) dengan memililih Jurusan Pendidikan Seni Musik.

    Sayang ia mesti menghentikan aktivitas kuliahnya. Keterbatasan ekonomi dan keinginan untuk bisa mandiri mendorongnya meninggalkan kampus. Padahal waktu
    itu ia tinggal menyelesaikan skripsi. Akhir 1999, mulailah ia menjajaki kerja di salah satu perusahaan dan bermusik di beberapa kafe. "Bukankah akhir dari
    kuliah adalah bekerja? Nah karena ada kesempatan saya ambil saja," katanya.

    Musik baginya memang menyenangkan. Ia tidak belajar khusus dengan seorang guru privat, hanya kemampuan mendengar yang diasahnya, termasuk belajar partitur
    angka dan balok. Rasa percaya diri dan tidak takut salah adalah semangat yang menaungi perjalanan hidup seorang Hendra.

    Di tahun 1983, Ramona Purba mengeluarkan album Terlena. Tahun itu, Hendra baru bermain di panggung 17 Agustus di rumahnya yang berada di kawasan Cimahi.
    Sekitar 19 tahun berikutnya atau tahun 2002, ia mendapat uang membeli seperangkat komputer. Dengan bantuan JAWS, ia mulai mengotak-atik berbagai program
    musik.

    Ia memang harus berterima kasih pada Ted Henter yang merilis aplikasi pembaca layar Job Access With Speech (JAWS). Dia pun harus berterima kasih pada Robert
    Moog yang menciptakan synthesizer, suatu alat yang bisa memproduksi bunyi dalam bentuk sinyal atau gelombang.

    Dengan penemuan prosesor mini berbasis protokol standar Musical Instrumen Digital Interface (MIDI) 1978, sekaligus pula membuka revolusi di bidang teknologi
    digital, Hendra memilih menjadi seorang penata musik.

    "Kenapa tidak menjadi penyanyi?" kata Kampus bertanya.

    "Nanti orang hanya akan menyaksikan saya biasa saja. Malah saya nanti direpotkan dengan penampilan di atas panggung," ujarnya.

    Ia tidak mengikuti jejak tunanetra lain sebagai penyanyi dengan alasan yang sederhana. Jika ia tersandung kabel karena ketunanetraannya, orang akan tertawa
    karena ia terjatuh. Hilanglah musik yang dibawakannya. Memang jarang ada penyanyi tunanetra yang berjingkrak di atas panggung, bahkan sekelas Stevie Wonder.

    Menjadi penata musik

    "Ya Allah… hari ini aku benar-benar mengeluh kepadamu. bagaimana tidak, pekerjaanku banyak sekali, tetapi komputerku benar-benar lemot (lambat-red.) untuk
    pekerjaan seperti aku ini," begitu kemudian ia tulis di blog-nya.

    Maklum, pesanan untuk membuat lagu begitu besar, tetapi komputernya masih memakai prosesor Pentium 4. Ia butuh lebih besar lagi dan ternyata ia mampu mengangkat
    kualitas prosesornya seperti sekarang.

    Hidupnya memang bergantung pada teknologi komputer. Dari situ ia bisa merekam suara akustik gitar, bass, keyboard ke dalamnya. Selain juga, ia mengotak-atik
    bunyi artifisial yang berasal dari perangkat lunak. Ia bisa sebut perangkat itu sebagai "istri". Dari sini pula ia bisa berselancar ke dunia maya mencari
    informasi perangkat musik digital terbaru. Dengan lebih pendek, dari sinilah imajinasi, ide, diwujudkan.

    "Semuanya saya peroleh dengan menabung. Tidak ada yang saya peroleh dari minta. Karena itu, produksi saya pertama kali dari peralatan sederhana," ujar
    penyuka
    grup Beatles ini.

    Kado untuk Aurora ia mulai dengan membuat karya sendiri. Ini berawal dari kedatangan seorang pengusaha dan dosen di ITB, Ricky. Ricky datang ke studio
    dengan
    niat meminta Hendra membuat aransemen lirik ciptaannya. Dari situ, lantas terjadi pikiran serius untuk merekamnya. Rekaman pun membutuhkan personel seperti
    vokal. Didapatlah nama Michella yang merupakan anak didik dari istrinya.

    Komposisi band yang disebut Mahaguru itu beranggotakan Ricky (produser dan pemain gitar), Bonzo pada bass, Michella sebagai lead vocal, dan Hendra Jatmika
    keyboard, piano, dan aransemen. Awalnya, mereka rilis 3.000 kaset dengan distributor independen. Tak berapa lama, sebuah perusahaan rekaman mengajak bergabung.
    Jadilah delapan lagu direkam dalam album "Inspirasi". "Saya sumbang tiga lagu di dalam album itu," ujarnya. Lagu yang dimaksud adalah "Indahnya 2 Cinta",
    "Khayalmu", dan "Kusimpan Mimpiku".

    "Saya dapat banyak inspirasi dari kehidupanku, lingkunganku, dan lain-lain," ucap guru musik grup anak-anak di Serang, Banten, Jawa Barat ini. Album "Inspirasi"
    dan beberapa karya lain dalam perjalanan kariernya lah yang membuat orang memberinya predikat penata musik, mulai dari menciptakan aransemen untuk banyak
    pernyanyi, menjadi guru musik, sampai bermain dalam panggung bersama musisi top.

    Namun, dari banyak karya yang ia ciptakan, masih ada hal yang dimimpikan. Selain memacu musikalitasnya, ia pun ingin mengajak kawan tunanetra lainnya untuk
    "melek" teknologi. Ia ingin membuat workshop produksi musik digital agar teman-temannya yang lain tidak berakhir di panti pijat. Hendra sendiri memulai
    dari keterbatasan. Percaya dirinya yang menghasilkan banyak karya. Uang mengikuti seiring kepuasan orang yang memintanya membuat lagu. Seperti dalam lirik
    Strawberry Fields Forever.

    Living is easy with your eyes closed
    Misunderstanding all you see
    It's getting hard to be someone
    But it all works out
    It doesn't matter much to me.

    Wacih Kurnaesih Menulis dengan Rasa

    Oleh Yenti Aprianti, Kompas, 14 November 2007


    Ia tak pernah tahu bagaimana warna hijau pada lumut. Namun, jika diminta mendeskripsikan lumut, ia bisa menceritakan kelembutan lumut yang menempel pada
    batu. Ia tak melihat bentuk air, tetapi ia berkisah tentang rasa sejuk yang merayap di atas kepala dengan detail.

    Sejak kecil ia dikaruniai penglihatan minim sehingga hanya mampu menangkap seberkas bayangan, tetapi perasaan dia mampu melihat lebih dalam tentang sesuatu
    di sekitarnya. Inilah yang menjadi modal Wacih Kurnaesih (53) sebagai penulis.

    Sejak muda Wacih menulis apa saja yang ia alami dan rasakan. Pada tahun 2003 ia menjadi juara dalam lomba esai penulisan tentang manfaat huruf braille
    Bagi tunanetra se-Asia Pasifik.

    Sebagai tunanetra yang gemar menulis dan membaca, Wacih sangat akrab dengan aksara braille. Apalagi sebagai guru Bahasa Indonesia, ia nyaris menyentuh
    Braille setiap hari dan mengajarkannya kepada murid-murid di Sekolah Luar Biasa A Negeri Bandung, Jalan Padjadjaran, Kota Bandung, Jawa Barat, sejak 27
    tahun lalu.

    Pada esai yang ditulisnya, Wacih bercerita dengan bersemangat tentang bagaimana braille membantunya memperluas wawasan tentang dunia, juga membantunya
    Menyediakan makanan buat keluarga.

    "Di awal pernikahan saya menempelkan tulisan beraksara braille pada semua wadah bumbu di dapur agar tak salah memasukkan bahan yang dibutuhkan," kata Wacih
    yang setelah bertahun-tahun berkeluarga hafal wadah-wadah bumbu di dapur.

    Braille menjadi penanda yang memudahkan aktivitas para tunanetra. "Braille adalah aksara yang lahir dari sebuah budaya yang sejarahnya sangat panjang.
    Sepanjang kisah tentang manfaatnya. Itu sebabnya braille harus dilestarikan," ujarnya.

    Berpisah

    Perkenalan dengan braille dimulai saat dia berusia tujuh tahun. Wacih dilahirkan di Desa Dayeuh Luhur, kawasan wisata ziarah di Kabupaten Sumedang, Jawa
    Barat. Ia anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Sejak lahir Wacih mengalami low vision atau keterbatasan penglihatan. Namun, seperti pada tunanetra lain,
    ia dikaruniai ketajaman rasa.

    Dengan kelebihan itu, ia tak memiliki kendala mengenali keluarga dan lingkungan. Ia tetap bisa bermain di luar rumah dengan teman sebaya.

    "Kalau saya main dekat kolam atau sungai, Ibu selalu melarang," kata anak petani tersebut.

    Wacih diperlakukan sama dengan saudara-saudara yang dapat melihat. Sejak kecil ia sudah tertarik membaca. Sebagian besar saudaranya lelaki dan suka membaca
    buku cerita persilatan, Wacih pun turut membaca.

    "Ketika usia saya tujuh tahun, orangtua mendengar cerita tentang sekolah khusus bagi tunanetra di Bina Netra Wyata Guna, Bandung." Jadilah sejak saat itu
    Wacih tinggal terpisah dari keluarga dan tinggal di asrama.

    Tinggal jauh dari keluarga tak masalah baginya sebab setelah bisa membaca dan menulis, ia jadi makin suka membaca buku cerita beraksara braille. "Waktu
    saya kecil, buku cerita braille sangat banyak dan beragam pilihannya," kenangnya sambil menyebutkan salah satu buku favoritnya, Rumah dan Taman.

    Di kelas Wacih pun senang menulis cerita. Guru dan teman-teman senang membaca tulisan dia. Ia melanjutkan belajar di sekolah pendidikan guru di Bandung.
    Di sekolah umum tersebut ia sering diminta mengisi majalah dinding sekolah dan berbagai majalah lokal.

    "Guru saya, Bu Murtilah, menyarankan agar saya kuliah ke jurusan Bahasa Indonesia," cerita Wacih. Saran itu diikutinya. Tahun 1978 ia melanjutkan pendidikan
    ke jenjang sarjana muda di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung yang kini berganti nama menjadi Universitas Pendidikan Indonesia.

    Di perguruan tinggi pun banyak teman Wacih yang menyukai tulisannya. Dosennya memuji kemampuan dia mengungkapkan kesejukan embun di kepala, yang katanya,
    tak mungkin dibuat penulis yang dapat melihat.

    Bertemu di asrama

    Sepanjang hidup, ia menjuarai berbagai perlombaan menulis, antara lain penulisan lokal sastra untuk anak-anak yang diselenggarakan Departemen Pendidikan
    dan Kebudayaan tahun 1983 dan tahun 1986. Karena selalu juara, Wacih sampai tak diizinkan lagi ikut lomba menulis.

    Kini ia lebih banyak menjadi juri lomba penulisan. Beberapa buku tentang cerita anak karya dia telah diterbitkan, antara lain Pahlawan Lima K dan Menuju
    Kemenangan.

    Suaminya, Didi Tarsidi, yang juga tunanetra, mendukung kegemarannya menulis. "Bapak membantu saya mengetik tulisan saya dari huruf braille ke komputer,"
    kata Wacih tentang Didi.

    Wacih bertemu Didi, lelaki asal Sumedang itu, di asrama Bina Netra Wyata Guna. Didi adalah kakak kelasnya. Didi aktif sebagai Ketua Persatuan Tunanetra
    Indonesia (Pertuni). Mereka menikah pada tahun 1980 dan dikaruniai dua anak, Tommy Rinaldi (26) dan Sendy Nugraha (24). Kedua anaknya itu dapat melihat
    dan telah menjadi sarjana. "Mereka yang sering membacakan artikel di majalah atau koran untuk saya," ucap Wacih.

    Prihatin

    Sebagai guru, ia berusaha membagi pengalamannya kepada murid-murid. Ia berharap pengalaman dia bisa menjadi motivasi murid untuk maju. "Setidaknya saya
    ingin mereka bisa seperti saya. Sebab, tunanetra pun bisa melakukan beragam pekerjaan, asalkan diberi kepercayaan mencobanya," katanya meyakinkan.

    Akan tetapi, Wacih mengaku prihatin sebab kemampuan membaca dan menulis huruf braille di kalangan murid-muridnya makin hari semakin rendah. Penyebabnya,
    bacaan beraksara braille sangat jarang dijumpai saat ini.

    "Waktu saya kecil, buku braille banyak jumlah dan ragamnya. Buku anak-anak hingga dewasa tersedia. Tapi sekarang, buku braille makin sedikit diproduksi.
    Kalaupun ada, lebih banyak buku pelajaran sehingga anak tidak dapat memuaskan keinginan membaca buku yang mereka sukai," tutur Wacih.

    Ia berharap pemerintah memerhatikan kebutuhan membaca dan menulis para tunanetra. "Sebab, kemampuan baca tulis itu tergantung banyaknya bahan bacaan yang
    ada," ujarnya.

    Selain itu, ketersediaan kertas untuk menulis pun sering kali sangat terbatas di sekolah-sekolah luar biasa untuk tunanetra. Padahal, kertas bekas dari
    kantor-kantor pun bisa dipakai oleh para tunanetra untuk menulis.

    "Daripada dibuang lebih baik kertas bekas itu diberikan kepada para tunanetra," ucap Wacih yang mengidolakan penulis novel Marga T dan Mira W.

    Wacih berharap semakin banyak anggota masyarakat yang bisa melihat bersedia menolong para tunanetra dengan tak berlebihan. Sebaliknya, para tunanetra pun
    bisa melakukan hal yang sama.

    "Sebab, pada dasarnya semua manusia diberikan kemampuan untuk saling membantu meski dalam keterbatasan," kata Wacih yang memilih mewarnai hidupnya lewat
    tulisan.

    Biodata
    Nama: Wacih Kurnaesih
    Lahir: Sumedang, 30 April 1954
    Orangtua: Haris dan Eneh Hasanah
    Suami: Didi Tarsidi (56)
    Anak: Tommy Rinaldi (sarjana teknik) dan Sendy Nugraha (sarjana ekonomi)
    Pekerjaan: Guru Bahasa Indonesia di SLB A Negeri Bandung
    Pendidikan:
    - Sarjana Bahasa Indonesia dari Universitas Terbuka, 1993
    - Sarjana Muda Bahasa Indonesia dari IKIP Bandung, 1978

    Prestasi antara lain:
    - Juara I penulisan sastra cerita lokal untuk anak, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983, "Pahlawan Lima K"
    - Juara I penulisan sastra Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1986, "Perjalanan Menuju Kemenangan"
    - Juara se-Asia Pasifik untuk penulisan esai "Manfaat Braille bagi Tunanetra" , Onkyo, Jepang, 2003

    DIDI TARSIDI, SEMANGAT JUANG DAN KEARIFAN TUNANETRA

    Oleh Indira Permanasari, Harian KOMPAS, 15-02-2005

    SIANG itu, di tempat tinggalnya di bilangan Muhammad Toha, Bandung Selatan, Didi memperlihatkan berbagai pekerjaan yang dapat dilakukan bersama komputer
    dengan program khusus bagi penyandang tunanetra. Program itu menggunakan suara, bukan tanda visual.

    Didi menggunakan teknologi tersebut untuk menyelesaikan pendidikan masternya. Benda itu menolongnya pula menjalankan tugas sebagai dosen program sarjana
    dan pascasarjana di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Teknologi itu juga membantu dia sebagai Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni),
    atau saat harus menyusun makalah jika diminta menjadi pembicara di berbagai forum internasional.

    Dalam tahun 2004 saja, Didi bisa mengunjungi sekitar enam negara untuk menjadi pembicara. Terlebih lagi sejak Desember tahun lalu dia terpilih sebagai
    Wakil Presiden The World Blind Union untuk Asia Pasifik. Didi membuktikan bahwa "kegelapan" tak menghalangi langkahnya.

    "Manusia lebih banyak persamaan daripada perbedaannya. Perbedaan itu sama saja dengan orang pendek dan tinggi. Mungkin Anda harus menggunakan komputer
    dengan bantuan mata, sementara saya dengan bantuan pendengaran. Tapi hasilnya sama. Tunanetra harus menyikapi kondisi yang disandangnya bukan penghambat
    terbesar," kata Didi di rumahnya yang sederhana tapi bersih.

    Kesadaran itu umumnya timbul setelah banyak berinteraksi. Itu pula yang membuat Didi sebagai pendidik getol menganjurkan pendidikan inklusi, yakni anak
    berkebutuhan khusus bersekolah di sekolah umum dalam berbagai forum.

    Dalam tesisnya untuk meraih master di bidang pendidikan luar biasa, yakni peranan teman sebaya di dalam perkembangan anak tunanetra, dia percaya teori
    bahwa teman sebaya berperanan besar dalam perkembangan anak. Jika sejak awal anak tunanetra bergaul dengan teman sebayanya, maka perkembangannya pada masa
    dewasa lebih baik.

    Sikap orangtua, kata Didi, sangat memengaruhi. Kalau orangtua menerima ketunanetraan anaknya, maka anak diberi kesempatan bergaul dengan sebayanya. Atau
    sebaliknya, kalau mereka memandang anaknya sebagai orang berbeda.

    LAHIR di Sumedang, 1 Juni 1951, Didi mendapatkan pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) A Bandung, Jalan Pajajaran, sejak tingkat dasar hingga menengah
    pertama. Penglihatannya hilang sejak usia lima tahun karena suatu infeksi. "Saya berkembang sebagaimana anak umumnya. Saya belajar tulisan braille, seperti
    anak lain belajar tulisan biasa," paparnya.

    Dia melanjutkan ke sekolah pendidikan guru (SPG). Ujarnya, "Saya bergaul dengan orang yang tidak banyak mengenal tunanetra. Itu jembatan bagi saya belajar
    bersama dengan anak yang dapat melihat dan bermasyarakat lebih luas."

    Saat masuk UPI (dulu namanya masih IKIP Bandung) Jurusan Bahasa Inggris, tahun 1973, ia satu-satunya tunanetra di angkatannya. Didi
    berkeyakinan, pada hakikatnya manusia berhati baik. Terbukti, lama kelamaan sikap warga kampus kepadanya bertambah baik, seiring dengan semakin mengenalnya.

    Sebagai orang baru, kesulitan awal ialah berorientasi dengan lingkungan. "Di IKIP saya pernah kecebur selokan karena tidak
    terorientasi dengan baik. Tentu pengalaman yang tidak enak, tetapi saya melihatnya sebagai proses," kenangnya.

    Kesulitan lainnya adalah mengakses papan tulis. Perlahan kendala itu terjembatani. Dosen mulai ikut memperhatikan. Misalnya, waktu menulis di papan sekaligus
    mengucapkan apa yang dituliskan. Perkembangan teknologi juga membantu tunanetra mengatasi kesulitannya. Mulai dari buku braille, perekam suara, video compact
    disc hingga belakangan ada software komputer khusus penyandang tunanetra.

    Saat menempuh gelar master Didi semakin mandiri. Dia menggunakan komputer dan scanner untuk membaca buku teks. Begitu teks masuk bisa diakses dengan komputer
    berprogram khusus.

    Sampai kemudian, dia berhasil menjadi pengajar di UPI Bandung. Untuk program sarjana dia mengajar ortopedagogik (ilmu pendidikan luar biasa), braille,
    orientasi mobilitas serta bahasa Inggris. Di program pascasarjana, Didi mengajar pengantar pendidikan inklusif dan pengembangan kesadaran masyarakat. Sebagian
    besar mahasiswanya dapat melihat dan beberapa di antaranya tunanetra. Dia selalu menyiapkan handsout untuk disajikan dengan overhead atau powerpoint. Handsout
    dalam huruf braille bagi Didi, sedangkan mahasiswa dalam tulisan biasa.

    LEWAT kehidupan keluarganya, Didi juga bersaksi bahwa tunanetra bukan warga kelas dua. Istri Didi juga seorang tunanetra bernama Wacih dan kini menjadi
    guru bahasa Indonesia di sebuah sekolah luar biasa. Wacih mengenyam pendidikan hingga tingkat sarjana.

    Bagi Didi, Wacih sangat istimewa, termasuk masakannya. "Wacih pandai memasak apa saja, menggoreng sampai merebus. Dia tahu persis kapan tahu dan tempe
    sudah harus dibalik dan cara membalikkannya. Itu saya tidak akan bisa," kata Didi sambil tertawa kecil.

    Dari perkawinannya tersebut, lahir dua buah hati dengan penglihatan sempurna, yakni Tommy Rinaldi (23) yang kuliah di Jurusan Biologi Universitas Padjajaran
    (semester akhir), dan Sandy Nugraha (21) yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Pasundan.

    Didi dan Wacih banyak menggunakan kontak fisik dan audio dengan anak mereka. Keduanya bergantung pada perabaan dan pendengaran. Satu hal yang sangat dijaga
    ialah kebersihan anak-anak sewaktu kecil. "Kalau anak kami tampak kotor, orang akan mengatakan, anak orang gak liat sih. Padahal, anak pada umumnya bisa
    kotor karena suka bermain," katanya.

    Pria penggemar musik jazz itu lalu bercerita, anak-anaknya ketika kecil berpersepsi seolah Didi dan Wacih melihat dengan tangan. "Saya ingat ketika Tommy
    menggambar saat berumur dua tahun. Dia bilang, "Paà Pa... ini gambar perahu orang mancing." Lalu dia ambil tangan saya dan dia rabakan, "Ini perahunyaà
    ini orangnya." Lalu saya tanyakan, ikannya mana? Ternyata belum ketangkap ha-ha-ha," ungkap Didi geli.

    Ketika dewasa, kedua anak mereka tersebut menjadi sahabat bagi orangtuanya. Mereka tidak memandang ketunanetraan sebagai suatu yang asing. Demikian pula
    seharusnya kita.