tag:blogger.com,1999:blog-84011217333905698092024-03-13T10:07:50.372-07:00Pertuni :: TestimonyHalaman ini memuat kisah kehidupan orang-orang tunanetra yang ditulis di media massa -- kisah-kisah inspiratif tentang perjuangan mereka untuk meraih keberhasilan hidup meski tanpa penglihatan.<br>DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.comBlogger20125tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-13534227977895812192013-10-24T04:56:00.000-07:002013-10-24T04:56:03.346-07:00Walau Tunanetra, Mahasiswa Indonesia Melanjutkan Kuliah S2 di Australia <br>
ABC Australia – detikNews, Kamis, 24/10/2013 14:45 WIB
<br>
Jakarta - Cacat fisik tidaklah menjadi kendala bagi seseorang untuk terus memperkaya diri dengan ilmu baru. Itulah yang dilakukan oleh Jaka Ahmad, seorang
tunanetra yang sekarang sedang melanjutkan S2 di bidang kerja social (social work) di Universitas Flinders di Adelaide (Australia).
<br>
Jaka sudah hampir setahun berada di Australia karena mendapatkan beasiswa dari pemerintah Australia lewat ADS. “Saya mendaftar lewat jalur biasa, dan setelah
melewati proses seleksi normal akhirnya mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi di Adelaide.” Kata Jaka kepada ABC Internasional minggu lalu.
<br>
Walau tidak dilahirkan dalam keadaan tunanetra, namun pria yang dilahirkan di Jakarta ini sejak kecil sudah mengalami gangguan penglihatan dimana dia hanya
memiliki kemampuan melihat terbatas (low vision).
<br>
“Ketika saya masih sekolah, memang sudah mengalami kesulitan untuk melihat dengan jelas. Namun baru sejak 10 tahun terakhir ini, saya tidak bisa melihat
lagi secara total.” Kata Jaka yang sehari-hari bekerja di Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia di Jakarta.
<br>
Dalam pekerjaan sehari-hari Jaka banyak berhubungan dengan instansi pemerintah maupun swasta untuk memberikan advokasi bagaimana berbagai instansi ini
bisa mengakomodasi para pekerja yang mungkin memiliki “kecacatan”.
<br>
Sebelum itu, dengan penglihatan terbatas, Jaka mampu menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi yaitu di Universitas Sahid Jakarta jurusan komunikasi.
<br>
Dari mana kemampuan bahasa Inggris yang dimilikinya sehingga bisa membawanya ke Australia. “Saya belajar bahasa Inggris dari radio dengan banyak mendengar.
Sehingga banyak kosa kata merupakan istilah-istilah dalam music dan film. “ kata pria yang berusia 37 tahun tersebut.
<br>
Jadi Pelawak
<br>
Pekan lalu di Adelaide, Jaka tampil dalam acara penggalangan dana bagi organisasi Australia Indonesia Associaton, organisasi sosial yang mempertemukan
warga Australia dan Indonesia di Adelaide yang memiliki hubungan dengan Indonesia.
<br>
Selama 10 menit, Jaka yang juga dikenal dengan nama Jack menghibur hadirin dengan humor-humor yang ditampilkannya dalam bahasa Inggris yang fasih.
<br>
“Ini untuk pertama kali saya tampil di depan umum melawak dalam bahasa Inggris. Selama ini saya hanya melawak di depan teman-teman saja.” kata Jaka lagi.
<br>
Dalam membuka lawakannya, Jaka mengatakan karena namanya adalah Jack, dia tidak mau dipanggil ketika sedang duduk dalam pesawat dengan panggilan “Hi Jack”.
Karena bila disatukan, hijack berarti penyanderaan.
<br>
Menurut Jaka, dia adalah salah satu dari lima orang mahasiswa asal Indonesia yang memiliki “kecacatan” yang sekarang sedang belajar S2 di Australia.
<br>
Salah satu pengalaman menariknya ketika belajar di kota Adelaide ini adalah bahwa dia tinggal bersama dengan mahasiswa yang bukan berasal dari Indonesia.
“Saya satu rumah dengan dua warga Australia dan satu orang asal Filipina. Dan dalam interaksi sehari-hari mereka banyak membantu namun dalam waktu bersamaan
membiarkan saya mandiri.” Kata Jaka.
<br>
Dicontohkannya, misalnya bila sedang memasak, Jaka mungkin secara tidak sengaja menumpahkan masakan ke lantai, teman-temannya akan memberitahu.
<br>
“Mereka akan mengatakan Jaka makanan kamu jatuh ke lantai di sebelah kanan atau kiri. Jadi saya bisa kemudian membersihkan sendiri. Saya malah lebih senang
seperti ini karena dengan itu saya bisa belajar lebih mendiri. “ kata Jaka lagi.
<br>
Bagaimana Jaka mendapatkan informasi dari kuliah yang dijalaninya?
<br>
“Saya menggantungkan diri pada laptop saya yang bisa mengubah tulisan menjadi suara. Programnya bernama Jaws for windows. Jaws adalah kepanjangan dari
Job application with speech. Jadi setiap kali saya menerima email misalnya, program ini kemudian mengubahnya menjadi suara sehingga saya bisa mengetahui
isinya.” Kata Jaka lagi.
<br>
(nwk/nwk)
DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-73243891387905997232013-04-07T18:03:00.003-07:002013-04-07T18:03:21.593-07:00Permas Alamsyah, Drummer Tunanetra Profesional Pertama di Indonesia RADAR LAMPUNG - JUMAT, 5 APRIL 2013 # POSTED BY: AYEP KANCEE
Punya Empat Grup Band, Pernah Iringi Empat Presiden
Tidak bisa melihat alias tunanetra bukan berarti kiamat. Itulah yang diyakini Permas Alamsyah (48). Dengan kondisi itu, dia justru mempunyai "penglihatan"
yang tajam saat menggebuk drum. Beberapa penyanyi tenar pernah diiringinya. Bagaimana dia menjalani semua itu?
Laporan Agus Wirawan, JAKARTA
Suasana Kafe Prestige Dining di Jl. Kemang Utara Raya, Jakarta Selatan, tampak meriah Minggu malam (31/3). Puluhan pengunjung memadati lounge dengan lampu
remang-remang itu.
Sambil minum-minum ringan, para pengunjung dihibur sajian musik dari grup band Grasshoper yang cukup dikenal di ibu kota. Sepasang vokalis pria dan
perempuan saling bersahutan menyanyikan lagu-lagu hit masa kini. Di belakang mereka, pemain gitar, bas, dan drum sibuk dengan alat musik masing-masing.
Tak ada yang aneh pada penampilan grup itu. Baru ketika acara usai pukul 23.00 WIB, terlihat perbedaan di antara mereka.
Drummer yang duduk di depan simbal harus dipapah seseorang untuk turun dari panggung dan menuju kursi sofa paling depan. Segelas lemon tea dingin langsung
dia seruput sambil tetap memegang dua stik drum di tangan kanan.
Ya, itulah penampilan Permas Alamsyah atau yang biasa dipanggil Alam, anggota grup band Grasshoper yang tunanetra. "Capek, mulai pukul delapan (20.00
WIB) nge-drum terus," ujarnya sambil masih mengatur napas.
Beberapa tamu kafe yang sudah lama mengenal Alam menuju meja sang drummer untuk berpamitan. Mereka harus mencari telapak tangan Alam di bawah meja
untuk menyalaminya. Lalu, satu per satu personel Grasshoper juga pamit. Dengan kebutaan yang dialami sejak lahir itu, Alam tidak pernah merasa rendah diri.
"Alhamdulillah, teman-teman percaya saya bisa nge-drum dengan baik," ungkapnya.
Keahliannya menggebuk drum juga pernah diapresiasi Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri). Alam masuk dalam catatan museum bikinan budayawan Jaya Suprana
itu sebagai pemain drum tunanetra profesional pertama di Indonesia pada 2008. Kiprahnya di dunia musik tanah air juga diakui para musisi. Tak terhitung
penyanyi terkenal pernah diiringinya.
"Banyak sekali ya, hampir semua penyanyi terkenal di Indonesia pernah saya iringi," ucapnya bangga.
Dia menyebut beberapa nama, seperti Ari Lasso, Yuni Shara, Krisdayanti, Agnes Monica, Titi Puspa, Dewi Yull, Once, Glen Fredly, dan banyak lagi. Mereka
diiringi grup band Grasshoper dalam acara yang berbeda-beda.
Alam juga pernah mengiringi empat presiden RI bernyanyi. "Bu Mega (Megawati Soekarnoputri), Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), dan Gus Dur (K.H. Abdurrahman
Wahid) pernah saya iringi. Zaman Pak Habibie (B.J. Habibie) juga pernah di Istana," katanya.
Melihat kemampuannya memainkan drum yang di atas rata-rata, orang mungkin tidak mengira bahwa Alam adalah seorang tunanetra. "Secara kasatmata, orang
nggak tahu bahwa saya tunanetra. Apalagi dulu rambut saya panjang. Sekarang saja agak botak," ujarnya, lalu tertawa lebar.
Dengan keahliannya nge-drum, grup-grup band pun berebut untuk menggaetnya. Kini Alam bergabung dengan empat grup band sekaligus. Selain Grasshoper,
dia main untuk Milky Way, Old Crack, dan Yeah-Yeah Boys. Uniknya lagi, empat band itu memiliki aliran musik berbeda-beda.
"Soal lagu-lagunya, bergantung permintaan penonton. Lagu lama atau lagu mutakhir kami layani. Mau pop, rock, bahkan dangdut, bisa diatur," tegasnya.
Agar empat grup band itu bisa memanfaatkan tenaganya, Alam membagi jadwal bermain untuk masing-masing grup. Untuk Minggu malam, dia tampil bersama
Grasshoper di Prestige Dining Kemang dan Senin malam di Lagoon, Hotel Sultan. Lalu, Selasa malam, Alam ganti bergabung dengan Milky Way di XXI Lounge Plaza
Senayan.
Jadwal manggung Rabu malam kembali bersama Grasshoper di Space Cafe Kemang. Kamis, Jumat, dan Sabtu, dia manggung bersama Old Crack atau Yeah-Yeah
Boys. "Kadang nggak tentu, bergantung panggilan teman yang dapat job. Yang rutin ya sama Grasshoper dan Milky Way," ujarnya.
Alam menjelaskan, Milky Way adalah grup band milik Chappy Hakim, mantan kepala Staf Angkatan Udara. Alam mengaku kenal dekat dengan sang jenderal itu.
Seusai pensiun dari TNI, Chappy memang mengisi hari-harinya dengan bermain musik dan membentuk grup band yang berpersonel Alam itu. Sesekali, Chappy ikut
naik ke panggung memainkan alat musik seperti gitar atau saksofon. "Terkadang, Pak Chappy nyanyi. Suaranya enak," tuturnya.
Meski keahliannya menggebuk drum sudah sangat mumpuni, Alam tetap rajin berlatih dengan grup-grup bandnya, minimal seminggu sekali. Apalagi bila mendapat
job besar, dia bersama bandnya perlu berlatih dua jam sebelum pentas. "Kami harus menghargai orang yang mengundang. Kami harus tampil maksimal agar tidak
mengecewakan," ucapnya.
Begitu larisnya Alam, tak heran bila pundi-pundi uangnya terus mengalir deras. "Sekali tampil, minimal Rp500 ribu di kantong. Bahkan bisa lebih besar.
Bergantung acaranya," ungkapnya.
Dari penghasilannya itu, Alam mampu menghidupi lima anaknya –dua di antaranya tunanetra– yang mulai besar-besar. Istrinya yang juga tunanetra bekerja
sebagai customer service di Hotel Grand Melia Jakarta.
Selain manggung, Alam menerima order sebagai drummer pendukung dalam pembuatan album beberapa artis. "Album country-nya Tantowi Yahya dan Mbah Surip
itu, saya yang ngisi drumnya," katanya.
Lantas, bagaimana Alam menjalani aktivitasnya sehari-hari yang cukup sibuk dan mobile dengan kondisi tidak bisa melihat? Pria kelahiran 3 November
1965 itu mengaku, handphone (HP)-nya sudah diinstal software yang bisa mengubah tulisan menjadi suara. "Jadi, kalau ada SMS masuk, saya bisa langsung mendengarkan.
Itu juga bisa untuk tulis status atau menjawab komentar teman di Facebook," ungkapnya.
HP Alam sekilas memang tidak berbeda dengan HP pada umumnya. Hanya, bagi Alam, penggunaannya agak lain. Dia mesti menempelkan HP-nya ke kuping jika
ingin mengetahui pesan (SMS) yang masuk. Setelah itu, ganti jari-jari tangannya yang sudah terampil menghafalkan semua tombol huruf memencet-mencet membuat
tulisan. "Teman saya yang pasang software ini. Bisa dipasang di HP apa saja," ujarnya.
Pria yang sekarang tinggal di Jalan Jatibarang Raya, Rawamangun, Jakarta Timur, itu memiliki kesibukan seabrek. Selain nge-band pada malam dan berlatih
waktu siang, Alam dipercaya menjadi wakil bendahara Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) dan menjabat bendahara umum PPDI (Persatuan Penyandang Disabilitas
Indonesia). "Saya ke mana-mana sendirian naik taksi, tinggal minta jemput dan antar ke tujuan," katanya.
Dia bersyukur, hingga kini tidak pernah mendapat sopir taksi nakal yang memutar-mutarkan jalan atau menaikkan tarif yang harus dibayar. Menurut dia,
yang mengkhawatirkan bagi penyandang tunanetra seperti dirinya justru pelayanan yang diberikan maskapai penerbangan.
"Untung, saya kalau terbang selalu bareng teman-teman. Kalau pergi sendirian, suka diminta mengisi surat pernyataan macam-macam," ungkapnya. (jpnn/p6/c2/ary)
DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-86400761161765064642013-04-07T07:31:00.001-07:002013-04-07T07:31:24.949-07:00RADAR LAMPUNG - JUMAT, 5 APRIL 2013 # POSTED BY: AYEP KANCEE
<br
Punya Empat Grup Band, Pernah Iringi Empat Presiden
Tidak bisa melihat alias tunanetra bukan berarti kiamat. Itulah yang diyakini Permas Alamsyah (48). Dengan kondisi itu, dia justru mempunyai "penglihatan"
yang tajam saat menggebuk drum. Beberapa penyanyi tenar pernah diiringinya. Bagaimana dia menjalani semua itu?
<br
Laporan Agus Wirawan, JAKARTA
<br
Suasana Kafe Prestige Dining di Jl. Kemang Utara Raya, Jakarta Selatan, tampak meriah Minggu malam (31/3). Puluhan pengunjung memadati lounge dengan lampu
remang-remang itu.
<br
Sambil minum-minum ringan, para pengunjung dihibur sajian musik dari grup band Grasshoper yang cukup dikenal di ibu kota. Sepasang vokalis pria dan
perempuan saling bersahutan menyanyikan lagu-lagu hit masa kini. Di belakang mereka, pemain gitar, bas, dan drum sibuk dengan alat musik masing-masing.
Tak ada yang aneh pada penampilan grup itu. Baru ketika acara usai pukul 23.00 WIB, terlihat perbedaan di antara mereka.
<br
Drummer yang duduk di depan simbal harus dipapah seseorang untuk turun dari panggung dan menuju kursi sofa paling depan. Segelas lemon tea dingin langsung
dia seruput sambil tetap memegang dua stik drum di tangan kanan.
<br
Ya, itulah penampilan Permas Alamsyah atau yang biasa dipanggil Alam, anggota grup band Grasshoper yang tunanetra. "Capek, mulai pukul delapan (20.00
WIB) nge-drum terus," ujarnya sambil masih mengatur napas.
<br
Beberapa tamu kafe yang sudah lama mengenal Alam menuju meja sang drummer untuk berpamitan. Mereka harus mencari telapak tangan Alam di bawah meja
untuk menyalaminya. Lalu, satu per satu personel Grasshoper juga pamit. Dengan kebutaan yang dialami sejak lahir itu, Alam tidak pernah merasa rendah diri.
"Alhamdulillah, teman-teman percaya saya bisa nge-drum dengan baik," ungkapnya.
<br
Keahliannya menggebuk drum juga pernah diapresiasi Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri). Alam masuk dalam catatan museum bikinan budayawan Jaya Suprana
itu sebagai pemain drum tunanetra profesional pertama di Indonesia pada 2008. Kiprahnya di dunia musik tanah air juga diakui para musisi. Tak terhitung
penyanyi terkenal pernah diiringinya.
<br
"Banyak sekali ya, hampir semua penyanyi terkenal di Indonesia pernah saya iringi," ucapnya bangga.
<br
Dia menyebut beberapa nama, seperti Ari Lasso, Yuni Shara, Krisdayanti, Agnes Monica, Titi Puspa, Dewi Yull, Once, Glen Fredly, dan banyak lagi. Mereka
diiringi grup band Grasshoper dalam acara yang berbeda-beda.
<br
Alam juga pernah mengiringi empat presiden RI bernyanyi. "Bu Mega (Megawati Soekarnoputri), Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), dan Gus Dur (K.H. Abdurrahman
Wahid) pernah saya iringi. Zaman Pak Habibie (B.J. Habibie) juga pernah di Istana," katanya.
<br
Melihat kemampuannya memainkan drum yang di atas rata-rata, orang mungkin tidak mengira bahwa Alam adalah seorang tunanetra. "Secara kasatmata, orang
nggak tahu bahwa saya tunanetra. Apalagi dulu rambut saya panjang. Sekarang saja agak botak," ujarnya, lalu tertawa lebar.
<br
Dengan keahliannya nge-drum, grup-grup band pun berebut untuk menggaetnya. Kini Alam bergabung dengan empat grup band sekaligus. Selain Grasshoper,
dia main untuk Milky Way, Old Crack, dan Yeah-Yeah Boys. Uniknya lagi, empat band itu memiliki aliran musik berbeda-beda.
<br
"Soal lagu-lagunya, bergantung permintaan penonton. Lagu lama atau lagu mutakhir kami layani. Mau pop, rock, bahkan dangdut, bisa diatur," tegasnya.
<br
Agar empat grup band itu bisa memanfaatkan tenaganya, Alam membagi jadwal bermain untuk masing-masing grup. Untuk Minggu malam, dia tampil bersama
Grasshoper di Prestige Dining Kemang dan Senin malam di Lagoon, Hotel Sultan. Lalu, Selasa malam, Alam ganti bergabung dengan Milky Way di XXI Lounge Plaza
Senayan.
<br
Jadwal manggung Rabu malam kembali bersama Grasshoper di Space Cafe Kemang. Kamis, Jumat, dan Sabtu, dia manggung bersama Old Crack atau Yeah-Yeah
Boys. "Kadang nggak tentu, bergantung panggilan teman yang dapat job. Yang rutin ya sama Grasshoper dan Milky Way," ujarnya.
<br
Alam menjelaskan, Milky Way adalah grup band milik Chappy Hakim, mantan kepala Staf Angkatan Udara. Alam mengaku kenal dekat dengan sang jenderal itu.
Seusai pensiun dari TNI, Chappy memang mengisi hari-harinya dengan bermain musik dan membentuk grup band yang berpersonel Alam itu. Sesekali, Chappy ikut
naik ke panggung memainkan alat musik seperti gitar atau saksofon. "Terkadang, Pak Chappy nyanyi. Suaranya enak," tuturnya.
<br
Meski keahliannya menggebuk drum sudah sangat mumpuni, Alam tetap rajin berlatih dengan grup-grup bandnya, minimal seminggu sekali. Apalagi bila mendapat
job besar, dia bersama bandnya perlu berlatih dua jam sebelum pentas. "Kami harus menghargai orang yang mengundang. Kami harus tampil maksimal agar tidak
mengecewakan," ucapnya.
<br
Begitu larisnya Alam, tak heran bila pundi-pundi uangnya terus mengalir deras. "Sekali tampil, minimal Rp500 ribu di kantong. Bahkan bisa lebih besar.
Bergantung acaranya," ungkapnya.
<br
Dari penghasilannya itu, Alam mampu menghidupi lima anaknya –dua di antaranya tunanetra– yang mulai besar-besar. Istrinya yang juga tunanetra bekerja
sebagai customer service di Hotel Grand Melia Jakarta.
<br
Selain manggung, Alam menerima order sebagai drummer pendukung dalam pembuatan album beberapa artis. "Album country-nya Tantowi Yahya dan Mbah Surip
itu, saya yang ngisi drumnya," katanya.
<br
Lantas, bagaimana Alam menjalani aktivitasnya sehari-hari yang cukup sibuk dan mobile dengan kondisi tidak bisa melihat? Pria kelahiran 3 November
1965 itu mengaku, handphone (HP)-nya sudah diinstal software yang bisa mengubah tulisan menjadi suara. "Jadi, kalau ada SMS masuk, saya bisa langsung mendengarkan.
Itu juga bisa untuk tulis status atau menjawab komentar teman di Facebook," ungkapnya.
<br
HP Alam sekilas memang tidak berbeda dengan HP pada umumnya. Hanya, bagi Alam, penggunaannya agak lain. Dia mesti menempelkan HP-nya ke kuping jika
ingin mengetahui pesan (SMS) yang masuk. Setelah itu, ganti jari-jari tangannya yang sudah terampil menghafalkan semua tombol huruf memencet-mencet membuat
tulisan. "Teman saya yang pasang software ini. Bisa dipasang di HP apa saja," ujarnya.
<br
Pria yang sekarang tinggal di Jalan Jatibarang Raya, Rawamangun, Jakarta Timur, itu memiliki kesibukan seabrek. Selain nge-band pada malam dan berlatih
waktu siang, Alam dipercaya menjadi wakil bendahara Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) dan menjabat bendahara umum PPDI (Persatuan Penyandang Disabilitas
Indonesia). "Saya ke mana-mana sendirian naik taksi, tinggal minta jemput dan antar ke tujuan," katanya.
<br
Dia bersyukur, hingga kini tidak pernah mendapat sopir taksi nakal yang memutar-mutarkan jalan atau menaikkan tarif yang harus dibayar. Menurut dia,
yang mengkhawatirkan bagi penyandang tunanetra seperti dirinya justru pelayanan yang diberikan maskapai penerbangan.
<br
"Untung, saya kalau terbang selalu bareng teman-teman. Kalau pergi sendirian, suka diminta mengisi surat pernyataan macam-macam," ungkapnya. (jpnn/p6/c2/ary)
<br
DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-16357207060575051722013-04-07T07:17:00.000-07:002013-04-07T17:53:00.145-07:00Permas Alamsyah, Drummer Tunanetra Profesional Pertama di Indonesia RADAR LAMPUNG - JUMAT, 5 APRIL 2013 # POSTED BY: AYEP KANCEE
<br
Punya Empat Grup Band, Pernah Iringi Empat Presiden
Tidak bisa melihat alias tunanetra bukan berarti kiamat. Itulah yang diyakini Permas Alamsyah (48). Dengan kondisi itu, dia justru mempunyai "penglihatan"
yang tajam saat menggebuk drum. Beberapa penyanyi tenar pernah diiringinya. Bagaimana dia menjalani semua itu?
<br
Laporan Agus Wirawan, JAKARTA
<br
Suasana Kafe Prestige Dining di Jl. Kemang Utara Raya, Jakarta Selatan, tampak meriah Minggu malam (31/3). Puluhan pengunjung memadati lounge dengan lampu
remang-remang itu.
<br
Sambil minum-minum ringan, para pengunjung dihibur sajian musik dari grup band Grasshoper yang cukup dikenal di ibu kota. Sepasang vokalis pria dan
perempuan saling bersahutan menyanyikan lagu-lagu hit masa kini. Di belakang mereka, pemain gitar, bas, dan drum sibuk dengan alat musik masing-masing.
Tak ada yang aneh pada penampilan grup itu. Baru ketika acara usai pukul 23.00 WIB, terlihat perbedaan di antara mereka.
<br
Drummer yang duduk di depan simbal harus dipapah seseorang untuk turun dari panggung dan menuju kursi sofa paling depan. Segelas lemon tea dingin langsung
dia seruput sambil tetap memegang dua stik drum di tangan kanan.
<br
Ya, itulah penampilan Permas Alamsyah atau yang biasa dipanggil Alam, anggota grup band Grasshoper yang tunanetra. "Capek, mulai pukul delapan (20.00
WIB) nge-drum terus," ujarnya sambil masih mengatur napas.
<br
Beberapa tamu kafe yang sudah lama mengenal Alam menuju meja sang drummer untuk berpamitan. Mereka harus mencari telapak tangan Alam di bawah meja
untuk menyalaminya. Lalu, satu per satu personel Grasshoper juga pamit. Dengan kebutaan yang dialami sejak lahir itu, Alam tidak pernah merasa rendah diri.
"Alhamdulillah, teman-teman percaya saya bisa nge-drum dengan baik," ungkapnya.
<br
Keahliannya menggebuk drum juga pernah diapresiasi Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri). Alam masuk dalam catatan museum bikinan budayawan Jaya Suprana
itu sebagai pemain drum tunanetra profesional pertama di Indonesia pada 2008. Kiprahnya di dunia musik tanah air juga diakui para musisi. Tak terhitung
penyanyi terkenal pernah diiringinya.
<br
"Banyak sekali ya, hampir semua penyanyi terkenal di Indonesia pernah saya iringi," ucapnya bangga.
<br
Dia menyebut beberapa nama, seperti Ari Lasso, Yuni Shara, Krisdayanti, Agnes Monica, Titi Puspa, Dewi Yull, Once, Glen Fredly, dan banyak lagi. Mereka
diiringi grup band Grasshoper dalam acara yang berbeda-beda.
<br
Alam juga pernah mengiringi empat presiden RI bernyanyi. "Bu Mega (Megawati Soekarnoputri), Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), dan Gus Dur (K.H. Abdurrahman
Wahid) pernah saya iringi. Zaman Pak Habibie (B.J. Habibie) juga pernah di Istana," katanya.
<br
Melihat kemampuannya memainkan drum yang di atas rata-rata, orang mungkin tidak mengira bahwa Alam adalah seorang tunanetra. "Secara kasatmata, orang
nggak tahu bahwa saya tunanetra. Apalagi dulu rambut saya panjang. Sekarang saja agak botak," ujarnya, lalu tertawa lebar.
<br
Dengan keahliannya nge-drum, grup-grup band pun berebut untuk menggaetnya. Kini Alam bergabung dengan empat grup band sekaligus. Selain Grasshoper,
dia main untuk Milky Way, Old Crack, dan Yeah-Yeah Boys. Uniknya lagi, empat band itu memiliki aliran musik berbeda-beda.
<br
"Soal lagu-lagunya, bergantung permintaan penonton. Lagu lama atau lagu mutakhir kami layani. Mau pop, rock, bahkan dangdut, bisa diatur," tegasnya.
<br
Agar empat grup band itu bisa memanfaatkan tenaganya, Alam membagi jadwal bermain untuk masing-masing grup. Untuk Minggu malam, dia tampil bersama
Grasshoper di Prestige Dining Kemang dan Senin malam di Lagoon, Hotel Sultan. Lalu, Selasa malam, Alam ganti bergabung dengan Milky Way di XXI Lounge Plaza
Senayan.
<br
Jadwal manggung Rabu malam kembali bersama Grasshoper di Space Cafe Kemang. Kamis, Jumat, dan Sabtu, dia manggung bersama Old Crack atau Yeah-Yeah
Boys. "Kadang nggak tentu, bergantung panggilan teman yang dapat job. Yang rutin ya sama Grasshoper dan Milky Way," ujarnya.
<br
Alam menjelaskan, Milky Way adalah grup band milik Chappy Hakim, mantan kepala Staf Angkatan Udara. Alam mengaku kenal dekat dengan sang jenderal itu.
Seusai pensiun dari TNI, Chappy memang mengisi hari-harinya dengan bermain musik dan membentuk grup band yang berpersonel Alam itu. Sesekali, Chappy ikut
naik ke panggung memainkan alat musik seperti gitar atau saksofon. "Terkadang, Pak Chappy nyanyi. Suaranya enak," tuturnya.
<br
Meski keahliannya menggebuk drum sudah sangat mumpuni, Alam tetap rajin berlatih dengan grup-grup bandnya, minimal seminggu sekali. Apalagi bila mendapat
job besar, dia bersama bandnya perlu berlatih dua jam sebelum pentas. "Kami harus menghargai orang yang mengundang. Kami harus tampil maksimal agar tidak
mengecewakan," ucapnya.
Begitu larisnya Alam, tak heran bila pundi-pundi uangnya terus mengalir deras. "Sekali tampil, minimal Rp500 ribu di kantong. Bahkan bisa lebih besar.
Bergantung acaranya," ungkapnya.
<br
Dari penghasilannya itu, Alam mampu menghidupi lima anaknya –dua di antaranya tunanetra– yang mulai besar-besar. Istrinya yang juga tunanetra bekerja
sebagai customer service di Hotel Grand Melia Jakarta.
<br
Selain manggung, Alam menerima order sebagai drummer pendukung dalam pembuatan album beberapa artis. "Album country-nya Tantowi Yahya dan Mbah Surip
itu, saya yang ngisi drumnya," katanya.
<br
Lantas, bagaimana Alam menjalani aktivitasnya sehari-hari yang cukup sibuk dan mobile dengan kondisi tidak bisa melihat? Pria kelahiran 3 November
1965 itu mengaku, handphone (HP)-nya sudah diinstal software yang bisa mengubah tulisan menjadi suara. "Jadi, kalau ada SMS masuk, saya bisa langsung mendengarkan.
Itu juga bisa untuk tulis status atau menjawab komentar teman di Facebook," ungkapnya.
<br
HP Alam sekilas memang tidak berbeda dengan HP pada umumnya. Hanya, bagi Alam, penggunaannya agak lain. Dia mesti menempelkan HP-nya ke kuping jika
ingin mengetahui pesan (SMS) yang masuk. Setelah itu, ganti jari-jari tangannya yang sudah terampil menghafalkan semua tombol huruf memencet-mencet membuat
tulisan. "Teman saya yang pasang software ini. Bisa dipasang di HP apa saja," ujarnya.
<br
Pria yang sekarang tinggal di Jalan Jatibarang Raya, Rawamangun, Jakarta Timur, itu memiliki kesibukan seabrek. Selain nge-band pada malam dan berlatih
waktu siang, Alam dipercaya menjadi wakil bendahara Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) dan menjabat bendahara umum PPDI (Persatuan Penyandang Disabilitas
Indonesia). "Saya ke mana-mana sendirian naik taksi, tinggal minta jemput dan antar ke tujuan," katanya.
<br
Dia bersyukur, hingga kini tidak pernah mendapat sopir taksi nakal yang memutar-mutarkan jalan atau menaikkan tarif yang harus dibayar. Menurut dia,
yang mengkhawatirkan bagi penyandang tunanetra seperti dirinya justru pelayanan yang diberikan maskapai penerbangan.
<br
"Untung, saya kalau terbang selalu bareng teman-teman. Kalau pergi sendirian, suka diminta mengisi surat pernyataan macam-macam," ungkapnya. (jpnn/p6/c2/ary)
<br
DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-56086537242165021602013-04-07T07:10:00.001-07:002013-04-07T17:54:47.681-07:00RADAR LAMPUNG - JUMAT, 5 APRIL 2013 # POSTED BY: AYEP KANCEE
<br
Punya Empat Grup Band, Pernah Iringi Empat Presiden
Tidak bisa melihat alias tunanetra bukan berarti kiamat. Itulah yang diyakini Permas Alamsyah (48). Dengan kondisi itu, dia justru mempunyai "penglihatan"
yang tajam saat menggebuk drum. Beberapa penyanyi tenar pernah diiringinya. Bagaimana dia menjalani semua itu?
<br
Laporan Agus Wirawan, JAKARTA
<br
Suasana Kafe Prestige Dining di Jl. Kemang Utara Raya, Jakarta Selatan, tampak meriah Minggu malam (31/3). Puluhan pengunjung memadati lounge dengan lampu
remang-remang itu.
<br
Sambil minum-minum ringan, para pengunjung dihibur sajian musik dari grup band Grasshoper yang cukup dikenal di ibu kota. Sepasang vokalis pria dan
perempuan saling bersahutan menyanyikan lagu-lagu hit masa kini. Di belakang mereka, pemain gitar, bas, dan drum sibuk dengan alat musik masing-masing.
Tak ada yang aneh pada penampilan grup itu. Baru ketika acara usai pukul 23.00 WIB, terlihat perbedaan di antara mereka.
<br
Drummer yang duduk di depan simbal harus dipapah seseorang untuk turun dari panggung dan menuju kursi sofa paling depan. Segelas lemon tea dingin langsung
dia seruput sambil tetap memegang dua stik drum di tangan kanan.
<br
Ya, itulah penampilan Permas Alamsyah atau yang biasa dipanggil Alam, anggota grup band Grasshoper yang tunanetra. "Capek, mulai pukul delapan (20.00
WIB) nge-drum terus," ujarnya sambil masih mengatur napas.
<br
Beberapa tamu kafe yang sudah lama mengenal Alam menuju meja sang drummer untuk berpamitan. Mereka harus mencari telapak tangan Alam di bawah meja
untuk menyalaminya. Lalu, satu per satu personel Grasshoper juga pamit. Dengan kebutaan yang dialami sejak lahir itu, Alam tidak pernah merasa rendah diri.
"Alhamdulillah, teman-teman percaya saya bisa nge-drum dengan baik," ungkapnya.
<br
Keahliannya menggebuk drum juga pernah diapresiasi Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri). Alam masuk dalam catatan museum bikinan budayawan Jaya Suprana
itu sebagai pemain drum tunanetra profesional pertama di Indonesia pada 2008. Kiprahnya di dunia musik tanah air juga diakui para musisi. Tak terhitung
penyanyi terkenal pernah diiringinya.
<br
"Banyak sekali ya, hampir semua penyanyi terkenal di Indonesia pernah saya iringi," ucapnya bangga.
<br
Dia menyebut beberapa nama, seperti Ari Lasso, Yuni Shara, Krisdayanti, Agnes Monica, Titi Puspa, Dewi Yull, Once, Glen Fredly, dan banyak lagi. Mereka
diiringi grup band Grasshoper dalam acara yang berbeda-beda.
<br
Alam juga pernah mengiringi empat presiden RI bernyanyi. "Bu Mega (Megawati Soekarnoputri), Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), dan Gus Dur (K.H. Abdurrahman
Wahid) pernah saya iringi. Zaman Pak Habibie (B.J. Habibie) juga pernah di Istana," katanya.
<br
Melihat kemampuannya memainkan drum yang di atas rata-rata, orang mungkin tidak mengira bahwa Alam adalah seorang tunanetra. "Secara kasatmata, orang
nggak tahu bahwa saya tunanetra. Apalagi dulu rambut saya panjang. Sekarang saja agak botak," ujarnya, lalu tertawa lebar.
<br
Dengan keahliannya nge-drum, grup-grup band pun berebut untuk menggaetnya. Kini Alam bergabung dengan empat grup band sekaligus. Selain Grasshoper,
dia main untuk Milky Way, Old Crack, dan Yeah-Yeah Boys. Uniknya lagi, empat band itu memiliki aliran musik berbeda-beda.
<br
"Soal lagu-lagunya, bergantung permintaan penonton. Lagu lama atau lagu mutakhir kami layani. Mau pop, rock, bahkan dangdut, bisa diatur," tegasnya.
<br
Agar empat grup band itu bisa memanfaatkan tenaganya, Alam membagi jadwal bermain untuk masing-masing grup. Untuk Minggu malam, dia tampil bersama
Grasshoper di Prestige Dining Kemang dan Senin malam di Lagoon, Hotel Sultan. Lalu, Selasa malam, Alam ganti bergabung dengan Milky Way di XXI Lounge Plaza
Senayan.
<br
Jadwal manggung Rabu malam kembali bersama Grasshoper di Space Cafe Kemang. Kamis, Jumat, dan Sabtu, dia manggung bersama Old Crack atau Yeah-Yeah
Boys. "Kadang nggak tentu, bergantung panggilan teman yang dapat job. Yang rutin ya sama Grasshoper dan Milky Way," ujarnya.
<br
Alam menjelaskan, Milky Way adalah grup band milik Chappy Hakim, mantan kepala Staf Angkatan Udara. Alam mengaku kenal dekat dengan sang jenderal itu.
Seusai pensiun dari TNI, Chappy memang mengisi hari-harinya dengan bermain musik dan membentuk grup band yang berpersonel Alam itu. Sesekali, Chappy ikut
naik ke panggung memainkan alat musik seperti gitar atau saksofon. "Terkadang, Pak Chappy nyanyi. Suaranya enak," tuturnya.
<br
Meski keahliannya menggebuk drum sudah sangat mumpuni, Alam tetap rajin berlatih dengan grup-grup bandnya, minimal seminggu sekali. Apalagi bila mendapat
job besar, dia bersama bandnya perlu berlatih dua jam sebelum pentas. "Kami harus menghargai orang yang mengundang. Kami harus tampil maksimal agar tidak
mengecewakan," ucapnya.
Begitu larisnya Alam, tak heran bila pundi-pundi uangnya terus mengalir deras. "Sekali tampil, minimal Rp500 ribu di kantong. Bahkan bisa lebih besar.
Bergantung acaranya," ungkapnya.
<br
Dari penghasilannya itu, Alam mampu menghidupi lima anaknya –dua di antaranya tunanetra– yang mulai besar-besar. Istrinya yang juga tunanetra bekerja
sebagai customer service di Hotel Grand Melia Jakarta.
<br
Selain manggung, Alam menerima order sebagai drummer pendukung dalam pembuatan album beberapa artis. "Album country-nya Tantowi Yahya dan Mbah Surip
itu, saya yang ngisi drumnya," katanya.
<br
Lantas, bagaimana Alam menjalani aktivitasnya sehari-hari yang cukup sibuk dan mobile dengan kondisi tidak bisa melihat? Pria kelahiran 3 November
1965 itu mengaku, handphone (HP)-nya sudah diinstal software yang bisa mengubah tulisan menjadi suara. "Jadi, kalau ada SMS masuk, saya bisa langsung mendengarkan.
Itu juga bisa untuk tulis status atau menjawab komentar teman di Facebook," ungkapnya.
<br
HP Alam sekilas memang tidak berbeda dengan HP pada umumnya. Hanya, bagi Alam, penggunaannya agak lain. Dia mesti menempelkan HP-nya ke kuping jika
ingin mengetahui pesan (SMS) yang masuk. Setelah itu, ganti jari-jari tangannya yang sudah terampil menghafalkan semua tombol huruf memencet-mencet membuat
tulisan. "Teman saya yang pasang software ini. Bisa dipasang di HP apa saja," ujarnya.
<br
Pria yang sekarang tinggal di Jalan Jatibarang Raya, Rawamangun, Jakarta Timur, itu memiliki kesibukan seabrek. Selain nge-band pada malam dan berlatih
waktu siang, Alam dipercaya menjadi wakil bendahara Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) dan menjabat bendahara umum PPDI (Persatuan Penyandang Disabilitas
Indonesia). "Saya ke mana-mana sendirian naik taksi, tinggal minta jemput dan antar ke tujuan," katanya.
<br
Dia bersyukur, hingga kini tidak pernah mendapat sopir taksi nakal yang memutar-mutarkan jalan atau menaikkan tarif yang harus dibayar. Menurut dia,
yang mengkhawatirkan bagi penyandang tunanetra seperti dirinya justru pelayanan yang diberikan maskapai penerbangan.
<br
"Untung, saya kalau terbang selalu bareng teman-teman. Kalau pergi sendirian, suka diminta mengisi surat pernyataan macam-macam," ungkapnya. (jpnn/p6/c2/ary)
<br
DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-45816596269722122862013-03-01T19:09:00.002-08:002013-03-01T19:09:52.429-08:00Melia Hotels honors Rina Prasarani for community leadership
The Jakarta Post
Thursday, 27 December 2012
Page 16
Melia Hotels honors Jakarta employee for community leadership
Melia Hotels International has honored Rina Prasarani, a Red Glove Line Agent at Gran Melia Jakarta, with a special award for leadership and inspiration.
Rina, 37, is known for her advocacy of rights for disabled persons. After being diagnosed with a degenerative eye license, she eventually became blind. Her efforts and spirit are a source of inspiration for her coworkers and the general public.
She was appointed secretary general of the World Blind Union (WBU) at recent WBU General Assembly in Thailand. She has worked at Gran Melia Jakarta since 2004.
DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-44933967446306996302011-12-03T02:20:00.000-08:002011-12-03T02:22:53.691-08:00Rina, Pekerja Tuna Netra di Hotel Bintang 5Mohammad Rizki Maulana – detikNews, Sabtu, 03/12/2011 05:17 WIB <br /><br />Jakarta - Menjadi penyandang disabilitas bukan merupakan halangan bagi seseorang untuk mandiri. Lihatlah Rina Prasarani, seorang penyandang tuna netra yang<br />bisa membuktikan hal tersebut.<br /><br />Rina mengidap kelainan mata sejak kecil dan mengalami kebutaan total saat duduk di bangku kuliah, namun itu tidak membuat ia berkecil hati dan patah semangat.<br />Sekarang dirinya berhasil menjadi seorang pegawai yang mandiri di salah satu hotel bintang 5 di Jakarta.<br /><br />"Sekarang saya bekerja sebagai Customer Service di hotel berbintang 5 di bilangan Jl HR Rasuna Said. Dengan gaji lumayan berkisar Rp 3-4 juta," kata Rina<br />saat ditemui wartawan di kantor LSM Agenda, Jalan Cikini V no 15 A, Jakarta Pusat, Jumat (2/12/2011).<br /><br />Ia mengakui pada awalnya banyak hambatan yang dihadapinya. Pekerjaan yang menuntut dirinya untuk berhadapan dengan monitor komputer dan telepon dari para<br />tamu membuatnya merasa kesulitan. Pada mulanya ia selalu meminta bantuan dari rekan kerjan tetapi hal itu malah membuatnya menjadi dianggap tidak produktif.<br /><br />Lambat laun akhirnya ia berusaha dan akhirnya mampu mengatasi hambatan-hambatan yang ada.<br /><br />"Untung teman saya ada yang jago IT dan punya software komputer buat bantu kerjaan saya. Software itu untuk bikin Komputer bisa ngomong sendiri. Saya jadi<br />bisa mandiri," kisah Rina.<br /><br />Keberhasilannya itu membuatnya diganjar penghargaan dari tempat ia bekerja. Ini merupakan prestasi yang cukup membanggakan bagi seorang yang bekerja dengan<br />segala keterbatasan.<br /><br />"Saya mendapat penghargaan Karyawan Insipiratif di tahun 2009 dan saya juga masuk Nominasi Karyawan Terbaik tahun 2008," ucap Rina dengan bangga.<br /><br />Rina yang juga merupakan alumni SMP Tarakanita 4 ini menceritakan pengalamannya menjadi penyandang disabilitas di Indonesia. Menurutnya di Indonesia pemerintah<br />belum memperhatikan kemudahan akses bagi para penyandang disabilitas.<br /><br />"Di Indonesia fasilitas bagi penyandang cacat tidak bersahabat. Beda dengan di luar negeri yang sangat membantu," keluh Rina.<br /><br />Untuk itu ia berharap, kedepan pemerintah lebih memperhatikan pemenuhan hak-hak para penyandang disabilitas. Karena ia merasa penyandang disabilitas di<br />Indonesia belum sepenuhnya mendapat pelayanan, penghormatan dan pemenuhan terhadap hak-hak mereka.DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-64933669897993421812009-11-13T04:51:00.000-08:002009-11-13T04:53:04.285-08:00Lukman Hakim Harahap, S.Ag., Ketua DPD Persatuan Tunanetra Indonesia(PERTUNI ) SumutHarian SUMUT POS, 08 November 2009<br /><br />“ JANGAN BEDAKAN KAMI “<br /><br />Pantang menyerah, itulah yang mengantarkan kesuksesan bagi Lukman<br />Hakim Harahap, S.Ag, meski tunanetra, ia berhasil menamatkan<br />pendidikan Strata-1 di Universitas Islam Bandung. Selain itu, Lukman<br />yang memiliki usaha Panti Pijat Tunanetra Cemerlang Abadi di jalan<br />Gajah Mada, gang Dame Medan ini dipercaya memimpin Persatuan Tunanetra<br />Indonesia (Pertuni) Sumut.<br />Melalui wadah berhimpun seribuan warga tunanetra ini, ia ingin<br />mengangkat harkat anggotanya baik dalam hal pendidikan dan<br />kesejahteraan. Bagaimana kehidupan masa kecil dan obsesi masa<br />depannya, berikut hasil wawancara wartawan Sumut Pos, Deddi Mulia<br />Purba dengan Ketua Pertuni Sumut di kediamannya, kemarin.<br /><br />Bagaimana kehidupan masa kecil Anda?<br />Saya dilahirkan di kota Padang Sidempuan, tepatnya di kampong Lesung<br />Batu, Tapanuli Selatan pada 4 September 1968. Saat lahir, saya masih<br />dapat melihat. Ketika umur saya berumur 2 tahun, Bapak sudah<br />meninggal. Barulah saat berumur 6 tahun, ibu kawin lagi. Karena ayah<br />tiri baik, saya hanya bisa sekolah hingga kelas III SD, selain itu,<br />mata juga mulai kabur hingga terakhir tak bisa melihat lagi. Tak<br />pernah ke dokter, karena saya tinggal di desa terpencil.<br /><br />Setelah tak dapat melihat, apa keinginan Anda ?<br />Karena dikampung, saya tak bisa melihat, tahun 1982, saya pergi ke<br />Medan. Di kota ini, ada saudara yang dokter yakni dr Marwali Harahap.<br />Kepada anak paman ini, saya sempat berobat selama 2 tahun tapi enggak<br />sembuh.<br />Marwali menyarankan saya untuk sekolah ke Bandung, Ia lalu mengirim<br />saya sekolah ke panti Wiyata Guna di jalan Padjajaran Nomor 52<br />Bandung. Panti ini khusus untuk membina tunanetra dan banyak memberi<br />pelajaran agama, khususnya huruf Al-Qur’an Braille.<br />Tahun 1984 dengan semangat, saya bersekolah di Bandung selama 2<br />tahun, kursus Al-qur’an Braille yang dilanjutkan dengan belajar di<br />pesantren. Saya punya keinginan dapat hafal Al-qur’an. Saya dalam<br />tahap awal, sudah bisa hafal 6 juz.<br />Dari panti ini akhirnya, saya dapat ijazah paket A. lalu saya<br />melanjutkan pendidikan di pesantren Cicalengka di Bandung, saya selalu<br />ikut mengaji bersama kiyai. Tiga tahun kemudian, melanjutkan<br />pendidikan ke pesantren Al-Jawami Cilunyi selama 3 tahun mengikuti<br />aliyah.<br /><br />Setelah tamat, Anda ingin melanjutkan pendidikan ke mana ?<br />Tamat Aliyah, saya coba tes ujian masuk perguruan tinggi negri<br />(UMPTN) dengan basic pendidikan agama IKIP Bandung. Ternyata di sana<br />tidak lulus.<br />Kemudian coba tes ke Institut Agama Islam Negri (IAIN) Sunan Gunung<br />Jati semasa dipimpin Prof Dr Ahmad Jatmiko pada tahun 1992. tapi untuk<br />ujian saja tak diterima, alas an mereka untuk tunanetra tidak ada yang<br />jadi guru. Saya sempat katakana, saya mau kuliah bukan mau jadi guru,<br />saya ambil jurusan dakwah karena ingin menjadi pendakwah.<br /><br />Karena gagal masuk IAIN, apa rencana Anda Selanjutnya?<br />Saya tetap ingin kuliah, akhirnya saya tes ke Universitas Isalm<br />Bandung (Unisba). Akhirnya saya beehasil menamatkan pedidikan S-I dam<br />meraih gelar sarjana agama (S.Ag). Skripsi saya mengambil judul metode<br />dakwah dikalangan tunanetra.<br /><br /><br />Apa yang Anda lakukan setelah tamat kuliah?<br />Saya mulai berdakwah . saya banyak diajak Badan Amil Zakat Daerah<br />(Bazda) Sumut mengajari tunanetra untuk belajar membaca Al-Qur’an<br />dengan huruf Braille. Kegiatan ini merupakan program pemberantasan<br />buta huruf Al-Qur’an. Saya sambut baik karena Bazda Sumut merupakan<br />penyelenggara pertama kegiatan baca Al-Qur’an dengan huruf Braille<br />bagi para tunanetra. Pak Maratua Simanjuntak, selaku pimpinan Bazda<br />Sumut menyatakan kegiatan percontohan.<br />Akhirnya, Bazda Sumut memberi dana dan menghunjuk kami selaku<br />penyelenggara pendidikan baca Al-Qur’an bagi tunanetra.<br />Pada tanggal 20 April 2005, Kegiatan ini diresmikan Gubernur Sumut<br />diwakili Kepala Biro Bina Sosial Pemprovsu. Muhammad Hasby Nasution,<br />hadir dalam peresmian ini, sejumlah pimpinan Majelis Ulama Islam (MUI)<br />Sumut dan Departemen Agama. Hingga kini, sudah ada lima angkatan.<br />Selain itu saya berpikir Al-Qur’an juga harus bisa ditafsirkan. Saya<br />ajukan program lanjutan mengadakan tafsir Al-qur’an sehingga dapat<br />memahami Al-qur’an dan memperhalus cara membaca.<br />Kini ada pelajaran tafsir Al-qur’an di jalan Sampul Medan di kantor<br />Pertuni Sumut.<br /><br />Bagaimana dengan kegiatan dakwah di masjid?<br />Waktu di Bandung memang sering berdakwah. Lagi pula berdakwah tidak<br />mesti dari mimbar ke mimbar. Makanya setelah pulang ke Medan buka<br />usaha sehingga mempermudah kegiatan dakwah di kalangan tunanetra.<br /><br />Dalam berdakwah di kalangan tunanetra, apa kendala yang dialami?<br />Saya rasa tidak ada kendala, hanya saja untuk memiliki Al-qur’an<br />dengan huruf arab Braille. Dalam Al-qur’an terdapat 30 juz, kalau<br />Al-qur’an biasa, satu buku Al-qur’an memuat 30 juz.<br />Al-qur’an dengan huruf Braille ini, tiap satu juz, satu buku. Jadi<br />dibuat 30 buku karena terlalu tebal berupa huruf timbul. Harganya tiap<br />satu juz Al-qur’an berkisar Rp. 50 ribu per buku. Belum lagi untuk<br />buku tafsir Al-qur’an.<br /><br />Sebagai ketua Pertuni Sumut, apa obsesi Anda?<br />Pertuni merupakan organisasi nasional yang ada di tingkat pusat,<br />provinsi hingga kabupaten maupun kota. Tentunya ingin mengangkat<br />harkat martabat tunanetra agar tak dianggap sebagai warga kelas dua.<br />Juga jangan bedakan kami. Walau bekerja sebagai tukang pijat tapi<br />mereka diharapkan dapat menyekolahkan anak, adik atau anggota keluarga<br />lainnya. Mereka tetap memiliki potensi yang bisa digali. Hanya mata<br />saja yang tidak dapat melihat, tapi yang lainnya juga normal.<br />Organisasi kami tahun depan berencana menggelar musyawarah daerah ,<br />untuk menyusun pengurus baru. Misi yang dikembangkan Pertuni adalah<br />menuntut kesamaan hak dan kesempatan baik dalam pendidikan dan<br />pekerjaan. Kita tak ingin di istimewakan.<br />Melalui kegiatan Pertuni, kami membantu anggota yang mengalami<br />kemalangan, sakit atau kesulitan lainnya, saat ini, sedang digagas<br />kerja sama dengan perusahaan dalam penyaluran bantuan social.<br /><br />Berkaitan dengan ketiadaan formasi bagi tunanetra pada penerimaan<br />CPNS 2009, apa tanggapan Anda ?<br />Ini merupakan suatu bentuk diskriminasi dalam penerimaan CPNS. Kami<br />juga ingin menjadi CPNS di Sumut. Padahal di daerah lain, ada<br />penerimaan CPNS termasuk di lingkungan Departemen Sosial. Kita sadari<br />kekurangan para tunanetra, tapi mereka masih bisa bekerja sebagai abdi<br />Negara seperti menjadi guru.<br /><br /><br /><br />Kebanyakan tunanetra masih banyak yang turun ke jalan, menjadi<br />peminta-minta. Apa upaya Anda ?<br />Saya harap keberadaan mereka jangan diperalat. Kalau bisa ada bantuan<br />pembinaan. Mereka tentu ingin meninggalkan itu apabila mereka memiliki<br />modal usaha. Namun usaha tadi jangan dipotong. Sering bantuan Rp. 1<br />juta yang diterima Rp. 800 ribu saja.<br />Saat ini anggota Pertuni Sumut ada 1.300 orang. Memang banyak yang<br />bekerja dipanti pijat. Ada juga yang meminta dijalan. Sebab selama ini<br />masih kurang perhatian pemerintah.<br /><br /><br />MAHIR GUNAKAN LAPTOP<br /><br />Meski mengalami cacat tunanetra, Lukman Hakim Harahap, S.Ag tak kalah<br />dengan manusia normal lainnya. Bapak satu anak ini bisa membaca<br />Al-qur’an dengan huruf Braille. Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia<br />(Pertuni) sejak tahun 2005 ini, juga mampu menggunakan laptop untuk<br />mengakses internet. Tentu saja computer yang digunakan juga computer<br />yang digunakan juga computer khusus yang bisa menghasilkan suara<br />pemandu. Alat ini bisa membaca satu kalimat atau kata demi kata.<br />“berkat kemajuan teknologi ini pula, saya bisa mencari<br />artikel-artikel penting untuk menambah muatan dakwah dan pengetahuan<br />lainnya,” kata Lukman didampingi istri dan mertuanya.<br />Lukman menambahkan, saat ini Pertamina dan Badan Perpustakaan, Arsip<br />dan Dokumentasi (BPAD) Sumut akan menggelar pelatihan penggunaan<br />computer bagi warga tunanetra yang digagasi kepala BPAD Sumut dan<br />pimpinan Pertamina, OK Khaidir. “ Ke depan, diharapkan akan lebih<br />banyak bantuan kerja sama semacam ini, “katanya.<br />Ia juga memiliki kemampuan mengirim dan membaca short message system<br />(SMS) melalui handphone tanpa perlu didampingi orang lain. Di sisi<br />lain, lukman memiliki ketrampilan memijat hingga membuka usaha Klinik<br />Pijat Tunanetra Cemerlang Abadi di jalan Gajah Mada, Gang Dame Medan<br />sejak tahun 2003.<br />“Kebanyakan mereka yang kemari, dengan biaya kusus Rp. 30 ribu. Dalam<br />sehari, minimal 10 warga yang datang. Keterampilan kusus di dapat dari<br />panti social baladewa di Tebing Tinggi. “ Ada juga yang minta dikusuk<br />dirumahnya,”kata dia.<br />Dalam memmbina rumahnya, ia menikah dengan seorang tunanetra juga.<br />Kini lukman memiliki seorang anak perempuan yang dapat melihat dengan<br />normal. Bocah perempuan semata wayang yang berusia empat tahun ini<br />sedang belajar di TK Al-qur’an.<br />Terhadap masa depan anaknya, lukman belum tahu. Hanya saja, ia ingin<br />sang anak dapat membantu keluarga dan masyarakat untuk berbuat<br />kebaikan. Karena masih kecil, belum tahu apa cita-citanya.<br />Dimana lokasi khusus berkumpul dirinya bersama keluarganya? Lukman<br />mengatakan, sering berkumpul dengan anggota Pertuni Sumut.<br />“Kami bersama anggota Pertuni Sumut atau anggota keluarga, sering<br />pergi ramai-ramai ke Brastagi dengan carter mobil,” katanya.DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-90562196384750768162009-07-25T06:48:00.000-07:002009-07-25T06:49:26.094-07:00Bart Hagen, Hakim TunanetraPertama, Tunanetra Dilantik Jadi Hakim<br /><br />Detuk News, Selasa, 23/06/2009 16:34 WIB<br /><br />Eddi Santosa - detikNews<br /><br />Antwerpen - Ketunaan fisik seharusnya tak menghalangi hak dasar dan peluang seseorang. Di Antwerpen, Belgia, seorang tunanetra dilantik menjadi hakim dan langsung bertugas.<br /><br />Bart Hagen (32), nama tunanetra itu. Dia dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua Pengadilan Tinggi Michel Rozie, Senin (22/6/2009). <br /><br />Hakim Tinggi Rozie mengenal baik hakim Hagen, karena dia juga dosen yang mengajar Hagen saat masih mahasiswa. <br /><br />"Saya mengenal Anda saat Anda menempuh ujian di Mahkamah Agung, di mana Anda meraih nilai tinggi. Kemudian saya memonitor Anda saat praktik kerja lapangan di Pengadilan Mechelen dan saya juga pernah mengajar Anda, di mana Anda selalu aktif berpartisipasi," Ujar Rozie, dikutip dari De Standaard.<br /><br />Hakim Hagen akan menjalankan tugas dengan cara memindai dokumen, selanjutnya dengan bantuan teknologi dokumen itu diubah ke dalam bentuk suara.<br /><br />Sementara untuk mobilitas di gedung pengadilan, dia akan dipandu oleh anjing pemandunya yang setia.DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-19233072793497194152009-07-10T05:12:00.000-07:002009-07-10T05:13:43.673-07:00[mitra-jaringan] TestimoniSalah satu acara pelengkap pada Munas Pertuni 2009 adalah testimoni. Acara ini baru pertama kali diselenggarakan dalam Munas Pertuni. <br />Dalam acara ini ditampilkan teman-teman kita tunanetra yang telah membuktikan keberhasilan dalam bidangnya masing-masing, terutama keberhasilan dalam mengembangkan bidang pekerjaan nonkonvensional bagi tunanetra. <br />Dalam acara testimoni kali ini telah berbagi pengalamannya: <br />1. Yanto Pranoto, S.H., seorang pengacara asal Bandung. Kliennya tidak hanya berasal dari Bandung melainkan dari berbagai kota termasuk Batam dan Singapura. <br />2. Suratim, seorang entrepreneur asal Jakarta. Dia adalah dealer resmi dari beberapa produk alat-alat tunanetra (software dan hardware). Wilayah pemasarannya meliputi beberapa negara Asia. <br />3. Hendra, seorang seniman dan sekaligus teknisi musik asal Bandung. Hendra tidak hanya terampil memainkan alat-alat musik, dia juga terampil menggunakan teknologi komputer untuk music recording, mixing, dan editing. Dia punya studio sendiri yang dikelola dan dikerjakannya sendiri. Beberapa penyanyi kondang, termasuk penyanyi Malaysia, telah dibuatkan musiknya oleh Hendra. <br />4. Antonius Silalahi, seorang penulis puisi asal Medan. Dia telah menerbitkan beberapa buku antologi puisi. <br /> <br />Semoga acara ini memotivasi teman-teman lain untuk lebih kreatif dan produktif. <br /> <br />Salam, <br />Didi TarsidiDPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-62882183394928067382009-04-18T23:25:00.000-07:002009-04-18T23:26:19.772-07:00Miles Hilton Barber, Pilot Tunanetra Sukses Terbangkan Pesawat MicrolightHarian Umum PELITA, 25-Okt-2007<br /><br />PESAWAT Microlight merupakan pesawat olahraga di kalangan Federasi Aero Sport Indonesia <br /><br />(FASI) dan biasa diterbangkan para pilot-pilot dengan sertifikat<br />yang diperoleh dengan seleksi sangat ketat. Salah satu persyaratan tersebut adalah sehat <br /><br />jasmani dan rohani.<br />Namun kenyataannya membuktikan bahwa penyandang cacat tunanetra berhasil menerbangkan <br /><br />pesawat Microlight, Minggu (15/4). Hal yang menakjubkan itu, menimbulkan<br />banyak kalangan wartawan dan masyarakat umum bertanya-tanya karena rute penerbangan yang <br /><br />ditempuh tergolong sangat luar biasa karena terbang beribu-ribu<br />kilometer.<br />Bahkan Miles Hilton Barber yang pernah mengantongi rekor menerbangi Kanal Inggris dengan <br /><br />menerbangkan pesawat Microlight pada ketinggian 20.300 kaki itu,<br />akan menambah panjang sejarah dalam dunia olahraga mengelilingi dunia untuk menggalang dana <br /><br />guna merestorasi penglihatan para orang-orang penyandang cacat<br />tunanetra yang berada di negara berkembang. <br />Dengan pengalaman itu Miles Hilton Barber, merupakan orang pertama yang menggunakan sistem <br /><br />navigasi di dunia penerbangan, yang menggunakan GPS dengan keluar<br />suara (audio) untuk mengetahui arah yang biasanya GPS berupa visual. Sementara kopilot hanya <br /><br />berfungsi untuk berjaga-jaga apabila kondisi udara terlalu<br />parah agar dapat menentukan pendaratan darurat atau menentukan pemilihan dalam upaya <br /><br />penyelamatan terbang sebagai faktor utama.<br />Yang lebih menarik lagi pilot yang telah menyandang tunanetra selama 20 tahun ini, tidak <br /><br />surut akan keinginan untuk menerbangkan Microlight menyeberangi<br />lautan dan benua. Hal itu terbukti bahwa Miles Hilton Barber telah keliling dunia dengan <br /><br />menyeberangi gurun, lautan, benua, dan pulau-pulau.<br />Bahkan kehidupannyapun seperti orang yang sehat jasmani, bahwa karya-karyanya sangat <br /><br />bermanfaat banyak kalangan khususnya penyandang tunanetra, juga memberikan<br />motivasi dan inspirasi orang lain untuk mencapai potensi yang mereka miliki.<br />Keinginannya keliling dunia untuk mengumpulkan dana yang diperuntukkan para penyandang cacat <br /><br />tunanetra di negara berkembang itu Miles Hilton Barber, singgah<br />di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur disambut Ketua Harian Pengurus Besar FASI <br /><br />Marsekal Muda TNI Eko Edi Santoso, Kabid Kegiatan Umum Marsda TNI<br />Eris Herryanto, Wakabid Kegiatan Umum Marsma TNI Daryatmo, Kabid Hubungan Luar Marsma TNI T <br /><br />Djohan Basyar, Kabid Humas Drs Effendi Soen, Kapotdirga Microlight<br />Wunwun Mauladi, Ketua FASI Provinsi DKI Jakarta dan Anggota Pordirga.DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-27923744767989066642009-01-13T06:49:00.000-08:002009-01-13T22:37:22.367-08:00Agung Rejeki Yuliastuti, Tunanetra yang Jadi PsikologRadar Semarang, Jumat 9 Januari 2009 <br /><br />Buta di Usia 25 Tahun, Kerap Jadi Narasumber Seminar Motivasi <br /><br />Keterbatasan penglihatan tidak menjadi penghalang bagi Agung Rejeki Yuliastuti, S.Psi untuk membantu sesama. Penyandang tuna netra ini sangat terbuka bagi<br />siapa saja yang membutuhkan bantuan konseling psikologi. <br /><br />ADITYO DWI RIYANTOTO <br /><br />--------------------------------------------------------<br /><br />SIANG itu, Agung Rejeki Yuliastuti nampak sibuk mengolah data-data hasil tes psikologi seleksi guru di salah satu SMP swasta di Semarang. Kebetulan, Agung<br />-begitu sapaan akrabnya dilibatkan dalam seleksi guru dari sisi psikologis para pelamar.<br /><br />"Saya biasanya lebih banyak ngantor di sekretariat Persatuan Tuna Netra (Pertuni) Jawa Tengah. Tapi, sekarang lagi punya kerjaan menyeleksi guru SMP,"<br />kata Agung Rejeki Yuliastuti saat ditemui Radar Semarang di rumahnya sekaligus tempat praktik psikologis di bilangan Jalan Badak V/21 RT 11 RW VI Gayamsari,<br />Semarang.<br /><br />Kendati memiliki keterbatasan penglihatan, Agung tidak lantas menyerah pada nasib. Bungsu dari lima bersaudara pasangan Hadi Sumartono dan Sumartiti ini<br />tetap beraktivitas seperti biasanya. Ia pernah menjadi asisten pengajar di Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak (PGTK) Darul Qolam (1998-2000), kemudian menjadi<br />konselor psikologi untuk TK dan SD Siswa Terpadu Harapan Bunda (2000 - 2007). <br /><br />"Saya start menjadi konselor sejak 2001. Klien saya mulai anak - anak dan orang tuanya, hingga para mahasiswa serta para anggota Pertuni sendiri," tuturnya<br /><br /><br />Para kliennya sendiri awalnya tidak mengetahui kalau dirinya mengalami keterbatasan penglihatan. Namun hal itu tidak menghambatnya untuk membantu dalam<br />memecahkan permasalahan. "Biasanya jika dalam konseling saya membutuhkan alat bantu, saya banyak dibantu teman," kata lajang kelahiran Semarang, 11 Juli<br />1969 ini.<br /><br />Saat ini Agung kerap memberikan motivasi kepada para anggota Pertuni dan masyarakat umum untuk tidak gampang menyerah. Persoalan yang dikonsultasikan,<br />umumnya soal masalah keluarga, anak, meningkatkan percaya diri, dan problem hidup lainnya. Dia juga sering diundang untuk menjadi narasumber seminar motivasi<br />bagi anak - anak hingga mahasiswa. <br /><br />"Biasanya kalau untuk anak - anak, saya memberikan motivasi belajar. Kalau untuk mahasiswa ya seputar masalah remaja," ucap penerima penghargaan Kartini<br />Award 2008 dari Radio Imelda FM Semarang ini.<br /><br />Wanita berjilbab ini mengaku dilahirkan dalam kondisi normal. Kedua penglihatannya juga berfungsi dengan baik. Namun di usia 25 tahun, musibah itu datang<br />tanpa diduga. Berawal saat dirinya menderita radang tenggorokan. Agung pun pergi berobat ke dokter langganannya. Oleh sang dokter, dirinya diberikan obat<br />antibiotik yang bukan biasa ia minum.<br /><br />"Ketika itu, dokter tidak menanyakan apakah saya alergi terhadap obat atau tidak. Saya juga tidak tanya apakah obat tersebut bisa menimbulkan alergi atau<br />tidak. Ya seperti berobat biasanya," kisahnya.<br /><br />Tak diduga, selang beberapa hari setelah meminum obat tersebut, tubuhnya mulai bereaksi. Bahkan, Agung sampai dilarikan ke rumah sakit dan menjalani opname<br />hingga 35 hari. Yang membut Agung shock, saat itu dokter memvonis dirinya mengidap penyakit Stevens Johnson Syndrome (SJS). Penyakit ini berefek ke fungsi<br />penglihatannya yang lambat laun menjadi kabur.<br /><br />"Dua puluh hari pertama saya tidak bisa apa - apa. Dari kepala hingga kaki menghitam semua. 20 kuku saya lepas, dan rongga mulut sariawan semua. Praktis,<br />saya hanya mengandalkan infus," kenangnya.<br /><br />Dan, setelah 35 hari dirawat di rumah sakit, Agung diizinkan pulang. Namun oleh dokter, dia divonis low sight vision atau penglihatan yang kurang. Hatinya<br />pun berkecamuk terhadap kondisinya. Namun perlahan Agung akhirnya bisa menerima keadaannya tersebut. <br /><br />Yang membuat dirinya semakin bersyukur, kedua matanya tidak buta total. Namun masih bisa berfungsi sekalipun tidak sempurna seperti mata normal pada umumnya.<br />"Saya bisa mengambil hikmah atas cobaan ini," ucapnya penuh syukur.<br /><br />Akibat musibah yang dialaminya itu, sempat menyebabkan wisuda sarjana Agung di Fakultas Psikologis Unika Soegijapranata Semarang molor. Kebetulan saat<br />jatuh sakit itu, dirinya tengah menunggu masa wisuda. "Wisuda saya molor dari bulan Maret menjadi bulan September 1995," ujar Ketua DPD Pertuni Jateng<br />ini.<br /><br />Agung mengaku apa yang dilakukan saat ini sebagai konselor dan psikolog adalah wujud rasa terima kasihnya kepada sang pencipta, karena telah diberikan<br />kehidupan yang baru kembali. Menurutnya, rasa syukur itu tidak hanya sebatas mengucapkan terima kasih, tapi juga diwujudkan dalam bentuk bantuan kepada<br />orang lain. <br /><br />"Saat sakit, saya sudah seperti mau meninggal. Tapi, saya bisa bangkit kembali. Pengalaman itu yang selalu saya berikan kepada orang lain, khususnya kepada<br />para tuna netra sebagai motivasi," kata Agung yang belum lama lalu terpilih sebagai satu dari delapan tokoh wanita Jawa Tengah yang dianggap mampu menjadi<br />inspirasi perjuangan perempuan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). <br /><br />Agung berharap kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan para penyandang tuna netra. Saat ini, dirinya tengah menyosialisasikan software komputer khusus<br />bagi kaum tuna netra di Kabupaten/Kota di Jateng. Program komputer itu dilengkapi suara yang bisa menuntun pemakainya, khususnya penyandang tuna netra,<br />dalam mengoperasikannya. Sayangnya, harga software itu masih relatif mahal, sehingga para tuna netra masih sulit menjangkaunya. <br /><br />"Satu program asli harganya bisa mencapai Rp 13 juta. Harga segitu tentu sulit bagi kami. Jika ada bantuan pemerintah, paling tidak bisa mewujudkan impian<br />kami untuk bisa mandiri," ujarnya. <br /><br />Menurut Agung, sudah saatnya para tuna netra mengenal komputer. Karena dari situ, akan bisa mengenal dunia internet dan bisa lebih berkarya. Selama ini,<br />dirinya coba mengakali dengan cara meng-crag software komputer tersebut agar bisa digunakan banyak orang. "Tapi, itu ilegal dan dilarang," katanya. (*/aro)DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-17406995479872953852008-11-03T04:43:00.000-08:002008-11-03T04:49:43.279-08:00Saharuddin, Tunanetra Pejuang HAM<a href="http://www2.kompas.com/ver1/Negeriku/0707/25/004220.htm">Oleh Nasrullah Nara. Kompas, Rabu, 25 Juli 2007</a><br /> <br /><br /><br /><br /> <br /><br />Terangnya dunia hanya ia nikmati hingga usia 10 tahun. Namun, kehilangan indera penglihatan sejak usia bocah itu tak mematikan semangat dan rasa percaya diri dia untuk meneruskan hidup seperti umumnya orang lain.<br />Itulah Saharuddin Daming, yang pada 21 Juni lalu dinyatakan lolos seleksi calon anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komisi III DPR menetapkan dirinya sebagai salah satu dari 11 anggota Komnas HAM periode 2007-2012.<br />Inilah kali pertama keanggotaan Komnas HAM diisi seorang tunanetra. Pada sisi lain, melalui lembaga negara ini, Saharuddin yang punya nama lain Andi Sebastian tertantang untuk menghilangkan diskriminasi bagi penyandang cacat.<br />Pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 28 Mei 1968, ini sempat ragu akan kelolosan dirinya dalam seleksi anggota Komnas HAM. Maklum, dari 43 calon komisioner, terdapat tiga nama komisioner lama yang sudah malang melintang dalam masalah HAM, yakni Zumrotin K Susilo, Enny Soeprapto, dan M Farid. Belum lagi sejumlah pensiunan jenderal TNI/Polri dan akademisi yang tak kalah tenarnya.<br />Akan tetapi, berbekal pengalaman pribadi sebagai orang yang termarjinalkan dalam hak-hak fundamental, ditambah pengalaman dia sebagai advokat, Saharuddin tak gentar. Pengalaman empirik dan bekal ilmu sebagai magister hukum dari Universitas Hasanuddin memantapkan tekadnya untuk menegakkan lima fungsi Komnas HAM: pemantauan, mediasi, penyuluhan, pengkajian, dan penyelidikan HAM.<br />"Institusi negara mulai memberi ruang bagi orang yang punya keterbatasan fisik untuk berkiprah bagi masyarakat luas," katanya ketika ditemui di Bumi Tamalanrea Permai, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (16/7).<br />Di rumah bangunan perumnas tipe 45 yang masih berkonstruksi asli standar itulah Saharuddin tinggal dengan status mengontrak. Dia ditemani istrinya, Yayi Zaitun Asdy (37), berikut dua putri mereka, Fadhillah Istiqamah (8) dan Mufidatul Husnah (6).<br />Anugerah<br />Saharuddin sadar bahwa sebagian kalangan meragukan kiprahnya pada ranah penegakan HAM. Terlebih secara hukum dan sosial, tunanetra masih tersisihkan. Namun, di balik gulita tersimpan pula anugerah. Kegelapan yang membekapnya sejak usia 10 tahun malah menempanya untuk paham dan peka akan penindasan HAM. Dia mampu membaca hal tersirat di balik yang tersurat.<br />Menjadi anggota Komnas HAM adalah bagian dari langkah panjangnya dalam penyadaran publik akan hak-hak dasar sebagai manusia dan warga negara. Tamat Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun 1994, ia mulai aktif pada sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi pemberdayaan penyandang cacat. Misalnya, Yayasan Perlindungan Lembaga Konsumen dan Lembaga Bantuan Hukum. Ia juga memimpin Persatuan Tuna Netra Indonesia Sulawesi Selatan.<br />Berbagai forum ilmiah yang diikutinya tak cuma memperluas wawasan advokasi, tetapi juga mempertajam bakat jurnalistiknya. Artikel-artikelnya seputar hukum dan HAM mengisi media massa. Pria berbobot 79 kg dan tinggi 178 cm ini juga sering tampil dalam berbagai seminar.<br />Dengan banyaknya warga penyandang cacat yang minta didampingi, pada tahun 1998 ia menekuni profesi advokat secara profesional. Sama ketika hendak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, dalam proses pendaftaran calon advokat pun ia dihambat panitia ujian. Keikutsertaan dia sebagai peserta ujian advokat "menggegerkan" Pengadilan Tinggi Makassar karena dianggap tak lazim. Ia dinyatakan tak lulus.<br />Ketidaklulusan itu bukan sebab pertimbangan kualitas menyangkut jawaban ujian, melainkan karena dia tunanetra. Ia protes ke Mahkamah Agung, lalu dia pun dilantik sebagai advokat berstatus lulus susulan.<br />Sebagai advokat, secara ekonomi hidup Saharuddin tak tergolong mapan. Maklum, dari 10-15 perkara yang ditangani per tahun, ia tak mematok tarif. Lagi pula, kliennya rata-rata kalangan menengah ke bawah. "Bisa bayar ongkos perkara saja saya sudah bersyukur," tuturnya.<br />Ruang tamu rumah kontrakannya diisi sofa, kursi plastik, dan komputer. Di ruang tengah hanya ada lemari buku. Untuk mobilitas, ia mengandalkan angkutan umum dan dituntun bergantian oleh staf atau istrinya.<br />Untuk menyelami bahan-bahan kepustakaan, menulis artikel, dan menyusun berkas perkara, selain mengandalkan kemampuan braille, ia dibantu tenaga staf. Dengan kondisi itu pula ia gigih mengikuti program doktor bidang hukum di Unhas.<br />Awal kebutaan<br />Dia lahir sebagai bungsu dari lima bersaudara. Pada usia 6 tahun, ayahnya, Daming, meninggal dunia. Saharuddin kecil terpaksa membantu ibundanya, Sitti Lai, mencari uang. Dia menjajakan kue dan es lilin, menjadi kuli bangunan dan kenek mobil, serta menjadi kuli angkut ikan di pasar. Itulah pekerjaannya di luar jam sekolah.<br />Dari kerja keras itu, ia bersama ibu dan kakak-kakaknya mampu membeli rumah panggung khas Bugis. Rumah yang baru dibeli terlebih dulu harus dibongkar dan dirakit ulang di atas tanah keluarga. Rangkaian rumah satu per satu dilepas, termasuk bagian atap yang terbuat dari daun nipah. Atap yang sudah lapuk diperosotkan ke permukaan tanah dengan menyisakan partikel halus yang berhamburan.<br />Saat mondar-mandir ikut membongkar rumah, tak terduga mata kanannya kemasukan partikel halus atap nipah. Itulah awal Saharuddin bermasalah dengan indera penglihatannya. Buntutnya, mata kanannya buta total.<br />Bertumpu pada mata kiri, kegemaran dia membaca buku dan koran tak surut. Kebiasaan itu dilakoninya sepulang sekolah hingga malam hari. Minat baca Saharuddin yang begitu tinggi tak diimbangi penerangan memadai. Maka, penglihatan pada mata kirinya pun menjadi buta. Dokter memvonis sistem saraf dari otak ke retina matanya lumpuh.<br />BIODATA<br />* Nama : Saharuddin Damingalias Andi Sebastian<br />* Lahir : Parepare, Sulawesi Selatan, 28 Mei 1968<br />* Istri : Yayi Zaitun Asdy(37)<br />* Anak:<br /> - Fadhillah Istiqamah(8)<br /> - Mufidatul Husnah (6)<br />* Alamat : Jalan Kerukunan Timur Raya Blok H/12 Bumi Tamalanrea <br /> Permai, Makassar<br />* Pendidikan:<br /> - Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin<br /> - Magister Hukum Universitas Hasanuddin, 2002<br /> - Sarjana Hukum Universitas Hasanuddin, 1994<br /> - SMA Datok Ri Bandang Makassar, 1988<br /> - SLB-A Yapti Makassar, 1985<br /> - SD Negeri 23 Parepare, 1980<br /> <br />* Aktivitas:<br /> Advokat, LSM, dan Organisasi Pemberdayaan Komunitas Tuna Netra.<br />* Karya tulis di antaranya:<br /> - Potret MarjinalisasiHak Penyandang Cacat dalam Pembangunan, <br /> Jurnal HAM Desember 2005<br /> - Praktik Kompensasi dan Klausul Baku dalam PLN, "Bisnis Indonesia"<br /> - Bias Penanganan Korupsidi KPU, "Media Indonesia"<br /> - Bias-bias Apresiasidalam Dunia Pendidikan, "Suara Pembaruan"<br /> - Inul Kebablasan,"Republika"<br /> - Delik Pers dalam Perspektif Hukum dan Keadilan, "Fajar"DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-62519022281448927682008-10-31T03:38:00.000-07:002008-11-01T09:12:57.514-07:00Bambang Basuki, Tunanetra Pendiri Yayasan Mitra Netra<a href="http://batampos.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=26653">Batam Pos, Kamis, 26 Juli 2007</a><br /><br /><br />Penyandang Cacat adalah Manusia dengan Tantangan Istimewa <br /><br />How are you Pak Bambang? Sombong ya sekarang? Lama tidak ngobrol-ngobrol. Gimana kabarMitra? Sapaan itu meluncur dari mulut banyak orang yang mengikuti pembukaan konferensi nasional ke-1pendidikan tunanetra, di Hotel Golden View, Selasa (24/7) lalu. Sambil mengucapkan kata-kata itu, mereka denganhangat menyalami Bambang Basuki, pria 57 tahun yang mengalami kekurangan dalam penglihatan ini. Penasaran dengan siapa sosok yang acap kali disapa orang ini, Batam Pos mengajukan pertanyaan yang langsungdijawab dengan tawa. Mereka tahu saya dari Yayasan Mitra Netra. Mereka semua sahabat-sahabat yang menyenangkan katanya seraya menyeruput teh yang baru saja diambilkan seorang suster kepadanya. Dulu, katanya, dia adalah pendiri Yayasan Mitra Netra, yayasan non profit yang memberi layanan yang tepat dan inovatif kepada para tunanetra. Siapa yang lebih mengerti tunanetra kalau bukan tunanetra itu sendiri, betulkan? katanya. Bambang menceritakan ihwal ia menjadi tak bisa melihat sama sekali. Awalnya, ia terlahir sebagai anak berpenglihatan normal. Sewaktu duduk di kelas dua SMA, ia mulai merasa penglihatannya bermasalah. Meski begitu, ia berhasil menamatkan pendidikan SMA-nya dengan nilai cukup baik. Dari sana, ia mulai menjalani operasi. Menurut dokter, papar ayah tiga orang anak ini, ia mengalami degenerasi kornea. Ini menyebabkan ia mengalami glukoma yang mengganggu keseimbangan cairan bola mata. <br />Akibatnya, mata menekan saraf dan membuatnya pusing dan terakhir, tak bisa melihat. Mengatasi hal itu, ia sempat menjalani tujuh kali operasi. Namun akhirnya ia menyerah dan terpaksa menerima bahwa ia telah jadi tunanetra. Layaknya kebanyakan orang yang mengalami cacat tiba-tiba, Bambang juga sempat stres dan sesak nafas. Masa ini,katanya, adalah masa kritis baginya dan bagi setiap orang yang mengalami hal serupa. Di masa ini, ada tiga kemungkinan alasan. Jika cacat itu karena kelalaian orangtua, kita akan menyalahkan orangtua. Jika karena kelalaian sendiri, kita tidak akan pernah memaafkan diri sendiri, dan jika karena sakit yang diberikan Tuhan, kita pun akan marah kepada Tuhan. Ini yang saya alami. Saya marah dan menyesalkan, kenapa Tuhan berbuat ini kepada saya, katanya mengenang kejadian puluhan tahun lalu. Ia baru bangkit dan berhenti menyesali Tuhan sejak ia mulai mendengar sebuah ceramah di radio. Kala itu ia mendengar sebuah hadis kudsi yang mengatakan bahwa orang yang kehilangan kedua penglihatan, tapi ia sabar dantawakal, maka dia akan mendapat imbalan yang lebih di banding yang lain. Inilah yang kemudian menjadi cemeti baginya untuk bangkit setelah lima tahun terus menyesali keadaannya. Sejak itu, saya melihat diri saya sebagai orang laknat. Tidak bisa melihat maksud Tuhan. Saya mulai berpikir danmengubah paradigma saya. <br />Penyandang cacat adalah manusia dengan tantangan istimewa. Begitu juga dengan orang di sekitarnya. Jika mereka bisa mengatasi dengan baik, maka dia juga akan menjadi orang yang istimewa, katanya.DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-26659337767426641362008-10-30T00:05:00.001-07:002008-11-01T09:16:41.374-07:00Setia Adi Purwanta, Kebutaan adalah Kesempurnaan<a href="http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0306/05/naper/348138.htm">Oleh Nur Hidayati. Kompas, Kamis, 05 Juni 2003</a><br /> <br /> SEBUAH kecelakaan membuat Setia Adi Purwanta mengalami kebutaan total sejak tahun 1976. Seusai masa-masa frustasi, asisten apoteker yang terpaksa mengakhiri kariernya itu mulai memperjuangkan pendidikan dan lingkungan yang terbuka bagi penyandang cacat.<br />Bagi Setia (50), cacat fisik bukan ketidakmampuan (disability), melainkan kemampuan yang berbeda (different ability). Kini ia bukan hanya mengajar matematika dan bahasa Inggris di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Bantul, Yogyakarta.<br />Setia juga berupaya membangun jaringan advokasi dan pengembangan diri bagi penyandang cacat. Kiprah ini mengantarnya menggali pengalaman di berbagai negara.<br />Sepulang mengajar, Setia berkantor di Dria Manunggal, lembaga penelitian dan pemberdayaan penyandang cacat yang ia dirikan pada tahun 1991. United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP) menobatkan lembaga ini sebagai pemenang kedua penghargaan pengembangan sumber daya manusia di Asia Pasifik tahun 2000.<br />Dria Manunggal mengupayakan agar penyandang cacat menguasai keterampilan produktif, dari kerajinan tangan, pertanian hidroponik, hingga penguasaan komputer.<br />Selain itu, lembaga tersebut juga menjalankan beragam upaya advokasi, antara lain menyusun usulan perundangan lengkap dengan standar teknis aksesibilitas fasilitas umum dari tahun 1996 hingga tahun 1998.<br />Di Jalan Malioboro, Yogyakarta, seorang tukang pijat tunanetra mengenal Setia sebagai pemrakarsa yang menggerakkan komunitas seni Malioboro bersama Pemerintah Provinsi DIY, Departemen Perhubungan, dan Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada, membangun jalur penuntun bagi penyandang cacat di sepanjang sisi barat jalan itu.<br />Kini, belasan sukarelawan bekerja bersama Setia di kantor Dria Manunggal yang sederhana di Jalan Wates, Yogyakarta. Beberapa di antara para sukarelawan ini berasal dari Jepang dan Perancis.<br />Ayah dari tiga anak, salah satunya penyandang tunanetra dan tunagrahita yang ia adopsi sejak bayi ini, dapat dikatakan sebagai aktivis dengan "jam terbang" tinggi. <br />Namun, ia tetap melakoni tugas sebagai guru SLB.<br />"Mengajar membuat saya dekat dengan anak-anak yang dikatakan cacat itu. Saya kenali betul kelemahan dan ketidakadilan dunia pendidikan bagi anak-anak ini," ujar pegawai negeri sipil ini.<br />Setia masih harus bekerja keras mewujudkan impiannya, tetapi kebutaan telah dirasakannya sebagai karunia.<br />"TUHAN menciptakan setiap makhluknya dengan sempurna. <br />Kebutaan ini adalah kesempurnaan saya sebagai ciptaan Tuhan," katanya.<br />Pria kelahiran Madiun tahun 1953 ini sempat terguncang ketika ia mendadak menjadi buta.<br />"Mengapa saya yang dibuat buta oleh Tuhan. Padahal, orang yang lebih brengsek dari saya saja enggak dibuat buta," kata Setia mengungkapkan gugatannya ketika itu.<br />Di tengah kegalauan, keluarga dan kawan-kawan dekat mendorong Setia meninggalkan Surabaya, kota tempat tinggalnya ketika itu, untuk menempuh studi di Sekolah <br />Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) di Yogyakarta.<br />"Masa sekolah di SGPLB itu saya masih penuh amarah. Saya bisa bersikap kasar sekali pada guru," tuturnya.<br />Kemarahan Setia meleleh ketika ia memulai praktik mengajar sejumlah anak tunanetra di akhir masa pendidikan SGPLB tahun 1978.<br />"Anak-anak itu bersekolah, tapi apa yang bisa mereka dapat? Akan jadi apa mereka, hanya jadi tukang pijat?" keluhnya resah.<br />Setia tidak mempercayai pola pendidikan yang sepenuhnya eksklusif. Memisahkan penyandang cacat dari masyarakat umum, diyakininya tidak akan membuahkan kemandirian dan pemenuhan hak asasi bagi penyandang cacat.<br />"Kalau saya pergi kondangan dan tuan rumah langsung menggiring saya berkumpul dengan sesama tunanetra, bagaimana saya bisa tahu pengantinnya cantik atau enggak?" ujarnya sambil tertawa.<br />Berbincang dengan Setia tak akan lepas dari canda. Pria yang menamatkan pendidikan pascasarjana bidang pendidikan di IKIP Yogyakarta (kini Universitas Negeri Yogyakarta) ini tidak lupa menikmati hidup.<br />Ia menggemari musik klasik, suka "mendengarkan" film, <br />"mendengarkan" matahari terbit ketika berlibur ke pantai, dan menikmati berbagai perjalanan.<br />Dengan detail, ia bisa menggambarkan kota-kota yang paling mengesankannya, antara lain Beijing di Cina. <br />Tuturnya, "Saya memang tidak bisa melihat, tapi saya bisa merasakan suasana ketika jalan-jalan ke pasar tradisional yang bersebelahan dengan sebuah mal di Beijing itu. Lagi pula, teman diskusi di jalan biasanya tidak susah ditemukan."<br />Dukungan sang istri, Suharti (49), tentu luar biasa berarti bagi Setia. Suharti yang sebelumnya mendukung perekonomian keluarga dengan menjahit pakaian pesanan turut belajar di SGPLB. Wanita asal Madiun ini kemudian mengajar di SLB bersama sang suami.<br />Setiap hari Suharti memboncengkan suaminya bersepeda motor ke SLB tempat mereka mengajar.<br />"Biarpun dapat tumpangan, tapi enggak gratisan, lho. <br />Kan, saya yang ngengkol stater-nya," tambah Setia.<br />KEYAKINAN akan keadilan Tuhan membuat Setia berpendapat, pada dasarnya tidak ada orang cacat di dunia. Label <br />"cacat" yang diberikan masyarakat dan penerimaan diri si penyandang label itulah yang menyebabkan orang menjadi cacat.<br />"Padahal, selalu ada tugas yang diemban setiap orang dengan keadaan diri sebagaimana adanya. Seorang yang kehilangan kaki misalnya, punya cara yang berbeda untuk menjalani tugas hidupnya dengan seorang yang lain," jelas Setia.<br />Pola diskriminasi yang mengikuti pelabelan itu bukan saja meluas dalam segala aspek kehidupan publik. Namun, Setia memandang diskriminasi dalam keluarga dan lingkungan terdekat pun tak kalah. "Ketika sebelah tangan bayi yang cacat ditutupi selendang saat selamatan kelahiran, diskriminasi sudah dimulai," ujarnya.<br />Dunia pendidikan formal, di mata Setia, sering menampilkan salah satu bentuk diskriminasi yang paling mencolok. Ia meyakini, tanpa proses pembelajaran yang baik, pola eksklusif rehabilitatif yang diterapkan pemerintah, misalnya, pada sekolah sejenis SLB, hanya menjadi sebentuk isolasi bagi anak-anak yang dikatakan cacat.<br />TAHUN ini UNESCAP memberikan dukungan pada Setia melalui Dria Manunggal, yang ia kelola, untuk mengembangkan komunitas inklusif bagi orang-orang berkemampuan berbeda ini di lima lokasi di Yogyakarta.<br />Bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Nasional DI Yogyakarta, uji model pendidikan bagi anak-anak dengan kemampuan berbeda juga dilakukan di enam sekolah dasar dan dua taman kanak-kanak di daerah ini.<br />"Bukan hanya anak yang perlu disiapkan dalam pola ini, tetapi juga orang tua, guru, dan sarana," ujarnya.<br />Sambil memainkan telepon selular yang selalu ia bawa, Setia berujar, "Kita sering lupa, anak-anak bukan hanya belajar dari guru dan orangtua, mereka juga belajar dari pergaulan dan teman-temannya. Jadi, jangan mencabut mereka dari dunia yang senyatanya, dunia yang apa adanya."DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-81228516859882788462008-10-29T17:25:00.001-07:002008-11-01T09:20:26.531-07:00Angin pun Berbisik: Kumpulan Sajak CintaResensi oleh Jamal D. Rahman<br /><a href="http://www.mediaindonesia.com/cetak/">Harian Media Indonesia, rubrik Bedah Pustaka, 26 Januari 2008</a><br /><br />Judul : Angin pun Berbisik: Kumpulan Sajak Cinta <br /><br />Pengarang : Irwan Dwi Kustanto, Siti Atmamiah, dan Zeffa Yurihana <br /><br />Pengantar : Mohamd Sobary<br /><br />Penerbit : Jakarta: Sp@asi dan Yayasan Mitra Netra, Januari 2008 <br /><br />Tebal : xxvii + 164 halaman <br /><br />Puisi-puisi dalam buku ini lahir dari sebuah proses yang mengharukan. Ditulis oleh sebuah keluarga, Irwan Dwi Kustanto (suami/ayah), Siti Atmamiah (istri/ibu),<br />dan Seffa Yurihana (anak), puisi-puisi itu adalah ekspresi, saksi, sekaligus dokumentasi pasang-surut cinta, rindu, cemburu, kesedihan, dan kebahagiaan<br />dalam hubungan suami-istri dan ayah-ibu-anak. <br /><br />Menginjak usia 9 tahun, Irwan mengalami gangguan penglihatan. Usaha penyembuhan dilakukan dengan berbagai cara, tapi dokter akhirnya menyimpulkan bahwa<br />retina kedua matanya rusak total. Ia harus menerima kenyataan bahwa dia kini adalah seorang tunanetra. Dengan perasaan kecewa dan putus asa, pria kelahiran<br />Jakarta, 7 November 1966, ini memasuki babak baru hidupnya yang gelap. Tak bisa lagi melihat dengan awas adalah sebuah pukulan sekaligus beban mental yang<br />amat berat. <br /><br />Pukulan berat yang takkan terlupakan dialami Irwan ketika dia kuliah filsafat pendidikan di IKIP Muhammadiyah Jakarta. Dengan kesadaran penuh bahwa dia<br />kini seorang tunanetra, dia bercita-cita menjadi guru. Ketika itu dia sudah fasih baca-tulis huruf Braille. Tapi setelah menyelesaikan semester 1, perguruan<br />tinggi itu tidak membolehkan Irwan melanjutkan kuliah ke semester berikutnya. Alasannya sungguh menyakitkan: “Calon guru tak boleh cacat.” Dengan hati<br />pedih, dia pun pergi meninggalkan kampus itu. <br /><br />Tapi Irwan tidak kalah. Dia akhirnya kuliah filsafat Islam di IAIN (kini: UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan berhasil merampungkannya di tahun 2004.<br />Maka dia fasih berbicara filsafat, baik klasik maupun modern, dari Al-Kindi hingga Murtadha Muthahhari, dari Thales hingga Habermas. Di antara filsuf yang<br />dikaguminya adalah Muhammad Iqbal, penyair dan filsuf Pakistan itu. Tidaklah mengherankan kalau dia menyukai sajak atau puisi, di samping filsafat. <br /><br />Irwan bahkan menulis semacam kredo puisi, sebuah sikap kepenyairan yang jelas berlatar hidupnya sebagai seorang tunanetra sekaligus seorang sarjana filsafat<br />yang menyadari keterbatasan rasio. Dia menulis, “Tatkala mata fisikku tak lagi sempurna menggambarkan dan memproyeksikan benda-benda ke dalam otak dan<br />pikiranku, maka hati dan jiwaku menggantikannya dengan ketajaman penglihatan yang sungguh dahsyat. Begitulah, aku dihadiahkan oleh Tuhan dan alam kasih<br />sayang yang melimpah, aku dibiarkan untuk mengenali dirinya dengan caraku sendiri .... <br /><br />Dunia yang terkurung oleh petak-petak dalam rasio manusia terpancar menyatu dalam gelora dan kelembutan makna hadirku, aku terbiasa dengan sentuhan jari,<br />penciuman, pendengaran serta terkadang kilatan-kilatan rasa yang membuatkehadiran dunia menjadi berdimensi dan utuh. Kesan-kesan yang menggurat lantas<br />menjadi begitu hidup, seakan berbicara dengan huruf-huruf, kata demi kata dan akhirnya menjelma sebagai sajak.<br /><br />Sajak bagiku kehidupan, baik dituliskan atau dilisankan, bahkan jika hanya tersimpan dalam relung hati sekalipun. Dia tetap tumbuh dan berkembang, memberi<br />segala rupa, makna dan rahasia kepada siapa pun yang menginginkannya hidup. Dalam kegelapan dan redupnya cahaya yang mampir ke dalam mataku, sebait sajak<br />bernilai berjuta gambar bagi siapa pun yang mendengar atau menbacanya, oleh karenanya dengan sajak dunia begitu berwarna, meriah, agung dan indah bagiku.” <br /><br />Di IAIN Syarif Hidayatullah, Irwan bertemu dengan Siti Atmamiah, kakak kelasnya yang juga menyukai puisi. Kepada perempuan bermata awas yang kemudian menjadi<br />istrinya inilah, puisi Irwan berikut ini (mungkin) dialamatkan: rembulan cinta, senyum menjelma/ menetaslah rindu/ tatkala bermula, senja termangu/ dan<br />saat malam menggeliat, tak henti-henti/ kusebut namamu (hal. 37). Mereka kini dikaruniai 3 anak: Zeffa Yurihana, Zella Adilati, dan Zeyyina Kayyis Kaila.<br /> <br />Hidup bahagia sebagai sebuah keluarga, tuntutan kenyataan memaksa mereka hidup terpisah sejak tahun 2004. Karena alasan pekerjaan, Irwan tinggal di Jakarta,<br />sementara istri dan ketiga anaknya tinggal di Tulungagung, Jawa Timur, karena alasan orangtua sang istri. Praktis Irwan berjumpa istri dan anak-anaknya<br />hanya pada hari-hari libur. <br /><br />Tapi jarak tak memisahkan keluarga bahagia ini. Jarak tak lain adalah sebuah jembatan melalui mana rindu, kesedihan, dan kebahagiaan bersama selalu dihubungkan.<br />Jarak adalah sebuah ruang dimana cinta menemukan biru apinya yang kekal dan menyala-nyala. Dari sanalah puisi-puisi mereka lahir. Dalam kata-kata Atmamiah<br />sendiri, “... puisi ini lebih terinspirasi oleh perasaan yang timbul akibat sebuah jarak, rindu, kesedihan yang benar-benar niscaya, dan cinta yang paling<br />agung dan abadi —dunia tak pernah segelap ini.” <br /><br />Maka membaca puisi dalam buku yang diluncurkan Rabu (23/1) lalu ini, adalah membaca kesedihan sekaligus kebahagiaan yang menggelora dalam biru api cinta<br />yang menyala-nyala. Kesedihan dan kebahagiaan, kesabaran dan ketabahan, impian dan harapan, terdengar bersahut-sahutan di halaman-halaman buku ini, seakan<br />suara samar yang melintas-lintas antara Jakarta-Tulungagung. Inilah dendang cinta Irwan Dwi Kustanto dari Jakarta: <br /><br />Cintaku padamu<br /><br />Adalah sungai berbatu<br /><br />Yang selalu<br /><br />Berkelebat bayang camar<br /><br />Enggan mendarat <br /><br />Bertiup angin meminta pulang<br /><br />Pada gelisahmu yang runtuh karena gerimis<br /><br />Di senja menjelang galungan<br /><br />Di mana kau tempatkan sesaji pada dukaku <br /><br />... <br /><br />(hal. 9) <br /><br />Seakan menyahuti dendang cinta itu, di Tulungagung Siti Atmamiah pun bernyanyi sendu: <br /><br />Sepagi ini engkau terbangun<br /><br />Kutahu mimpimu belum sempurna<br /><br />Kau genggam sepotong rembulan jatuh di wajahmu<br /><br />Matamu yang terpejam<br /><br />Bukan karena engkau tertidur<br /><br />Belajar membaca pertanda<br /><br />Pada jubah yang memnuimpan rahasia semesta:<br /><br />Laut melumat pasir saat gelombang pasang<br /><br />Awan mengarak burung saat kehabisan dahan<br /><br />Bulan yang terluka<br /><br />Kecipak air muara<br /><br />Matamu yang memejam<br /><br />Mengharap harum bunga<br /><br />Tak usah dinanti melati mekar<br /><br />Bila kuncupnya membuatmu merangkai cinta. <br /><br />(hal. 125) <br /><br />Siti Atmimiah berdendang pula, sebuah dendang rindu dari jauh:<br /><br />Berjalan engkau<br /><br />Saat senja baru saja pergi<br /><br />Sebutir kenangan yang lewat<br /><br />Mencari-cari jemarimu yang muram<br /><br />Tak ada awalnya<br /><br />Ketika kita bertemu<br /><br />Merapatlah<br /><br />Dadaku penuh gelora<br /><br />Di sini darah sedang mengalir deras<br /><br />Mengejar sekumpulan awan<br /><br />Yang membawa kabar:<br /><br />“Esok sore engkau akan datang”<br /><br />(hal. 127) <br /><br />Dan Zeffa Yurihana? Seperti ibunya, anak 11 tahun itu berharap sang ayah selalu ada di sampingnya, harapan yang dia tahu sedekat ini tak mungkin terpenuhi.<br />Maka harapan dan permintaannya bersifat penuh seluruh, sebuah permohonan anak-anak yang memelas dan mengharukan:<br /><br />Kali ini saja kumeminta<br /><br />Kali ini saja kumemohon<br /><br />Di suatu hari nanti<br /><br />Kutakkan meminta lagi<br /><br />Kau harus bersamaku<br /><br />Takkan meninggalkanku<br /><br />Hidup ini serasa sempurna<br /><br />Karena ada kau di sampingku<br /><br />Kali ini saja kumeminta padamu<br /><br />Untuk menyempurnakan jalan hidupku <br /><br />(hal. 148). <br /><br />Di atas gelora cinta itu, dalam kesedihan dan kebahagiaan keluarga, dan dengan keterbatasannya sebagai seorang tunanetra namun dengan ketajaman mata lahir-batinnya<br />yang luar biasa, Irwan Dwi Kustanto kini mengabdikan diri untuk memenuhi hak-hak kaum tunanetra. Di Indonesia, jumlah tunanetra mencapai 3 juta orang atau<br />1,5% penduduk. Sebagai wakil direktur eksekutif Yayasan Mitra Netra, Jakarta, yang dijabatnya sejak 2001, Irwan mengembangkan sistem simbol Braille Indonesia,<br />menciptakan Mitra Netra Braille Converter (sebuah perangkat lunak penkonversi aksara komputer ke aksara Braille), menggagas kamus elektronik untuk tunanetra,<br />dan menggagas program Seribu Buku untuk Tunanetra. Di samping itu, pria yang sempat aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini adalah instruktur nasional<br />untuk pengembangan simbol Braille Indonesia. <br /><br />Jika sajak bagi Irwan adalah kehidupan, sebagaimana diakuinya sendiri, maka kreativitas dan produktivitas mengatasi jarak dan ketunanetraan adalah kehidupan<br />Irwan yang sesungguhnya.*** <br /><br />Pondok Cabe, 24 Januari 2008 <br /><br />Jamal D. Rahman, penyair, pemimpin redaksi majalah sastra HorisonDPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-29916546725217057182008-10-29T17:18:00.000-07:002008-11-01T18:21:14.050-07:00Dengan Hati Melihat Dunia<a href="http://www.kickandy.com/pretopik.asp">Kick Andy, Metro TV Online</a><br /><br />Ditayangkan Kamis, 14 Februari 2008<br /><br />Apa jadinya kalau tunanetra nge-blog? Ternyata tidak jauh berbeda dengan blog-blog kebanyakan yang notabene dibuat oleh orang ’awas’. Coba saja tengok<br />ramaditya.com, blog milik seorang tunanetra bernama Ramaditya. Di dalamnya, kita bakal disuguhi cerita-cerita yang ditulis Rama secara deskriptif dan menarik.<br /><br />Asyiknya lagi, para pengunjung blog juga bisa mendownload musik-musik game karya Rama secara gratis. ”Saya memang ingin memasyarakatkan musik game dan<br />memusik-gamekan masyarakat,” ujar Pria yang berprofesi sebagai sound engineer lepas untuk perusahaan game Nintendo dan juga sebagai jurnalis ini. <br />Karibnya Rama dengan perangkat teknologi memang mengagumkan. Meski memiliki kendala penglihatan, namun tidak menghalanginya untuk berkreasi melalui komputer.<br />Bahkan Rama sempat mempertontonkan kebolehannya mengaransir musik game dengan suling-nya yang bernama Tiara dan kemudian diolahnya melalui laptop kecil<br />kesayangannya bernama Via. Sontak alunan musik karya Rama ini mengundang applause para penonton yang hadir di studio malam itu. <br />Ramaditya merupakan salah satu narasumber K!ck Andy pada episode DENGAN HATI MELIHAT DUNIA. Dalam episode kali ini, Kick Andy memang berupaya menghadirkan<br />rekan-rekan tunanetra yang mengenyampingkan segala keterbatasannya dan berhasil membuktikan eksistensi mereka melalui kreatifitas. <br />Seperti hal-nya yang dilakukan oleh Irawan Mulyanto, Dimas, Aries dan Rafiq. Ke-empat pria ini adalah orang-orang dibalik website Kartunet.com. Kartunet<br />sendiri merupakan akronim dari Karya Tunanetra yang memang menyajikan karya-karya dari para tunanetra seperti puisi, cerpen, esei maupun cerita-cerita<br />lucu. Irawan yang biasa disapa Iwa ini, mengatakan bahwa dirinya dan teman-teman memiliki mimpi bahwa satu hari nanti web karya tunanetra ini bisa menjadi<br />sumber pendapatan bagi tunanetra. Seperti adanya pengiklan ataupun menjadi sebuah radio on line. ” Sekarang ini kami masih membiayai sendiri dengan cara<br />urunan,” jelas Iwa yang sehari-hari juga bekerja sebagai operator telepon di Metro TV. <br />Dalam episode kali ini juga diangkat seputar program GERAKAN SERIBU BUKU UNTUK TUNANETRA. Buku merupakan jendela dunia. Banyak hal dapat diperoleh lewat<br />buku. Namun bagaimana dengan teman-teman para tunanetra? Sudahkah kebutuhan mereka akan buku berhurup braille, terpenuhi dengan baik? Jawabannya adalah<br />belum! Menyadari begitu pesatnya perkembangan buku dewasa ini, namun sedikit sekali buku yang bisa dibaca oleh kalangan tunanetra, maka Yayasan Mitra Netra<br />pun memprakarsai lahirnya GERAKAN SERIBU BUKU UNTUK TUNANETRA tersebut. <br />Menurut humas Yayasan Mitra Netra, Aria Indrawati, program yang sudah berlangsung selama dua tahun terakhir ini memang bertujuan mengajak masyarakat berpartisipasi<br />dalam pengadaan buku bagi para tunanetra. Khususnya bagi para penerbit dan penulis buku diharapkan bersedia memberikan ijin dengan meminjamkan soft file<br />buku-bukunya untuk diterbitkan dalam versi braille. Meski belum bisa dibilang banyak, namun ada beberapa kalangan penulis maupun penerbit yang telah terpanggil<br />untuk berkomitmen meminjamkan soft file bukunya untuk di-braillekan ataupun dijadikan talking book. Salah satu-nya adalah motivator Andrie Wongso. Tak<br />ketinggalan, presenter Metro TV, Meuthia Hafidz, juga berkesempatan mengijinkan bukunya yang berjudul 168 Jam Dalam Sandera untuk di-braille-kan. <br />Dedikasi sepenuhnya terhadap program SERIBU BUKU UNTUK TUNANETRA ini juga dilakukan oleh Irwan Dwi Kustanto melalui antologi Angin Pun Berbisik. Dimana<br />hasil penjualan buku kumpulan puisi yang merupakan karya bersama Irwan yang tunanetra dengan Siti Atmamiah, sang isteri, dan putri tercinta, Zeffa Yurihana<br />ini nantinya akan digunakan untuk membiayai program yang turut ia cetuskan tersebut. Selama ini Irwan memang dikenal banyak melahirkan ide brilian bagi<br />kemajuan kaum tunanetra. Diantaranya dengan mengembangkan sistem simbol braile Indonesia serta kamus elektronik untuk tunanetra. <br />Tak ketinggalan, episode Kick Andy kali ini juga menyingkap cerita dari talenta-talenta tunanetra lain seperti Fiersha Hanifah si pemilik suara emas, serta<br />melihat penampilan anak-anak teater MELDIC (Melihat Dengan Ilmu dan Cinta). Yang pasti, keterbatasan tidak menghalangi mereka untuk terus berprestasi dan<br />berkreasi. Meski mata mereka tak mampu melihat, namun mereka masih mempunyai hati yang menjadi jendela untuk melihat dan mengubah dunia. <br /><br />Copyright © 2007 Website Team Kick Andy. All rights reserved.DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-76177477700541670332008-10-29T07:53:00.001-07:002008-11-01T18:24:46.223-07:00Hendra Jatmika Pristiwa: Kami juga Harus Melek Teknologi<a href="http://newspaper.pikiran-rakyat.co.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=24334">Oleh Agus Rakasiwi, Pikiran Rakyat, 24 Juli 2008</a><br /><br /><br />Hai. Posting yang pertama ini aku ingin memperkenalkan diri. Namaku Hendra Jatmika Pristiwa. Aku adalah seorang tunanetra yang berprofesi sebagai musisi,<br />arranger, dan juga entertainer.<br /><br />SEBUAH testimoni. Dia memuat salam perkenalan itu di situs blog-nya yang beralamat di hendramusic.wordpress.com pada 9 Agustus 2007.<br /><br />Hendra adalah seorang suami dan bapak. Ia menikah dengan Nenden Shintawati pada tahun 2003. Setahun kemudian, seorang bayi gadis yang bernama Aurora lahir<br />dari buah perkawinan mereka. Bersama Nenden, yang juga tunanetra, ia mengerjakan sesuatu yang oleh sebagian orang dipandang sebelah mata.<br /><br />Pengakuannya sebagai musisi memang bukan isapan jempol. Sebuah kamar digunakan untuk memproduksi berbagai aransemen. Ruang kamarnya berukuran 3x2 meter.<br />Berbeda dengan ruangan lain di rumahnya, ruangan ini dilengkapi pendingin ruangan. Layar monitor jenis flat lengkap dengan CPU dengan processor Quad Qore<br />mengisi salah satu sisi ruangan. Masih ada lagi pelengkapan lain, seperti converter dan gitar. Di salah satu sisi dinding menggantung gitar, bass, dan<br />biola. Yang tidak ada hanya sistem kedap suara, tetapi lebih dari lumayan untuk menarik perhatian orang lain.<br /><br />Di dalam ruangan itu, Hendra telah menggarap beragam lagu orang lain, di antaranya penggarapan dua lagu untuk untuk Joeniar Arief, bekas personel grup<br />RnB<br />Tofu. Ia juga punya album bertajuk Inspirasi bersama band Mahaguru, 2006.<br /><br />"Diskriminasi kadang kerap kali aku alami dulu ketika aku bersekolah dan kuliah, tetapi aku menganggapnya itu biasa aja… hehehe," tulis kawan kita yang<br />bisa memainkan banyak alat, seperti, gitar, bass, drum, dan keyboard ini dalam bagian lain blog-nya.<br /><br />Mimpinya banyak, tetapi ia ingin mendapat pengakuan bahwa tunanetra juga bisa hidup dan berkarya seperti manusia pada umumnya. Jikalau mendapat kesempatan,<br />ia merasa ingin pindah ke luar negeri. Alasannya, karena di negara lain aksesibilitas orang berkebutuhan khusus sangat diperhatikan. "Inginnya ke Eropa<br />atau Australia," ujar sang istri, Nenden, yang pernah bernyanyi di hadapan Ratu Beatrix.<br /><br />Gitar sang paman<br /><br />Di dalam studio, ia terlihat asyik memainkan keyboard komputer. Dengan bantuan perangkat lunak JAWS, ia mencari data lagu yang tersimpan dalam komputernya.<br />Ia ingin menunjukkan beberapa sampel lagu yang dibuatnya.<br /><br />Di kumpulan data lagu itu terdapat beberapa genre yang dibuatnya, dari jenis pop, jazz, RnB, disko sampai orkestra. Hanya dangdut yang tidak ada di data<br />penyimpanan memori komputernya. "Nanti mungkin saya buat Jazz-Koplo," ujar kawan berusia 33 tahun ini diiringi suara tawa terbahak.<br /><br />Ia lahir sebagai tunanetra. Hanya dia dari dua saudara lainnya yang memiliki keterbatasan penglihatan. Hendra kecil tumbuh dalam situasi yang dianggapnya<br />"normal". Rasa herannya muncul ketika bermain petak umpet. "Saya sering terbentur dan jatuh," ujarnya diiringi tawa lepas.<br /><br />Mengetahui kekurangannya, ia tidak berhenti bermain. Siapa pun diajaknya bermain dan benda apa saja ditanya dan dirabanya. Sampai suatu hari sang paman<br />membawakannya gitar dan mengajarinya chord pada alat musik itu. Saat itu usianya lima tahun. Dua tahun berikutnya, syair ini melantun dari bibirnya:<br /><br />Let me take you down<br />`Cause I`m going to strawberry fields<br />Nothing is real<br />And there`s nothing to get hung about<br />Strawberry fields forever<br /><br />Karya The Beatles yang berjudul "Strawberry Fields Forever" itu dinyanyikannya. Dengan pengucapan Inggris yang terbata-bata, Hendra "menghajar" panggung<br />17 Agustusan kala usianya 7 tahun. Inilah berkah gitar sang paman. "Walaupun bernyanyi dengan bayaran’ cap nuhun’ (tidak dibayar-red.)," ucapnya.<br /><br />Setelah banyak lembaga pendidikan umum mengikuti kebijakan menteri pendidikan tentang sistem pendidikan terpadu bagi penyandang ketunaan di sekolah umum,<br />Hendra bisa memperoleh kesempatan lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN, kini SNMPTN). Tahun 1993, ia mulai menginjak kampus Insititut Keguruan<br />dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (sekarang UPI) dengan memililih Jurusan Pendidikan Seni Musik.<br /><br />Sayang ia mesti menghentikan aktivitas kuliahnya. Keterbatasan ekonomi dan keinginan untuk bisa mandiri mendorongnya meninggalkan kampus. Padahal waktu<br />itu ia tinggal menyelesaikan skripsi. Akhir 1999, mulailah ia menjajaki kerja di salah satu perusahaan dan bermusik di beberapa kafe. "Bukankah akhir dari<br />kuliah adalah bekerja? Nah karena ada kesempatan saya ambil saja," katanya.<br /><br />Musik baginya memang menyenangkan. Ia tidak belajar khusus dengan seorang guru privat, hanya kemampuan mendengar yang diasahnya, termasuk belajar partitur<br />angka dan balok. Rasa percaya diri dan tidak takut salah adalah semangat yang menaungi perjalanan hidup seorang Hendra.<br /><br />Di tahun 1983, Ramona Purba mengeluarkan album Terlena. Tahun itu, Hendra baru bermain di panggung 17 Agustus di rumahnya yang berada di kawasan Cimahi.<br />Sekitar 19 tahun berikutnya atau tahun 2002, ia mendapat uang membeli seperangkat komputer. Dengan bantuan JAWS, ia mulai mengotak-atik berbagai program<br />musik.<br /><br />Ia memang harus berterima kasih pada Ted Henter yang merilis aplikasi pembaca layar Job Access With Speech (JAWS). Dia pun harus berterima kasih pada Robert<br />Moog yang menciptakan synthesizer, suatu alat yang bisa memproduksi bunyi dalam bentuk sinyal atau gelombang.<br /><br />Dengan penemuan prosesor mini berbasis protokol standar Musical Instrumen Digital Interface (MIDI) 1978, sekaligus pula membuka revolusi di bidang teknologi<br />digital, Hendra memilih menjadi seorang penata musik.<br /><br />"Kenapa tidak menjadi penyanyi?" kata Kampus bertanya.<br /><br />"Nanti orang hanya akan menyaksikan saya biasa saja. Malah saya nanti direpotkan dengan penampilan di atas panggung," ujarnya.<br /><br />Ia tidak mengikuti jejak tunanetra lain sebagai penyanyi dengan alasan yang sederhana. Jika ia tersandung kabel karena ketunanetraannya, orang akan tertawa<br />karena ia terjatuh. Hilanglah musik yang dibawakannya. Memang jarang ada penyanyi tunanetra yang berjingkrak di atas panggung, bahkan sekelas Stevie Wonder.<br /><br />Menjadi penata musik<br /><br />"Ya Allah… hari ini aku benar-benar mengeluh kepadamu. bagaimana tidak, pekerjaanku banyak sekali, tetapi komputerku benar-benar lemot (lambat-red.) untuk<br />pekerjaan seperti aku ini," begitu kemudian ia tulis di blog-nya.<br /><br />Maklum, pesanan untuk membuat lagu begitu besar, tetapi komputernya masih memakai prosesor Pentium 4. Ia butuh lebih besar lagi dan ternyata ia mampu mengangkat<br />kualitas prosesornya seperti sekarang.<br /><br />Hidupnya memang bergantung pada teknologi komputer. Dari situ ia bisa merekam suara akustik gitar, bass, keyboard ke dalamnya. Selain juga, ia mengotak-atik<br />bunyi artifisial yang berasal dari perangkat lunak. Ia bisa sebut perangkat itu sebagai "istri". Dari sini pula ia bisa berselancar ke dunia maya mencari<br />informasi perangkat musik digital terbaru. Dengan lebih pendek, dari sinilah imajinasi, ide, diwujudkan.<br /><br />"Semuanya saya peroleh dengan menabung. Tidak ada yang saya peroleh dari minta. Karena itu, produksi saya pertama kali dari peralatan sederhana," ujar<br />penyuka<br />grup Beatles ini.<br /><br />Kado untuk Aurora ia mulai dengan membuat karya sendiri. Ini berawal dari kedatangan seorang pengusaha dan dosen di ITB, Ricky. Ricky datang ke studio<br />dengan<br />niat meminta Hendra membuat aransemen lirik ciptaannya. Dari situ, lantas terjadi pikiran serius untuk merekamnya. Rekaman pun membutuhkan personel seperti<br />vokal. Didapatlah nama Michella yang merupakan anak didik dari istrinya.<br /><br />Komposisi band yang disebut Mahaguru itu beranggotakan Ricky (produser dan pemain gitar), Bonzo pada bass, Michella sebagai lead vocal, dan Hendra Jatmika<br />keyboard, piano, dan aransemen. Awalnya, mereka rilis 3.000 kaset dengan distributor independen. Tak berapa lama, sebuah perusahaan rekaman mengajak bergabung.<br />Jadilah delapan lagu direkam dalam album "Inspirasi". "Saya sumbang tiga lagu di dalam album itu," ujarnya. Lagu yang dimaksud adalah "Indahnya 2 Cinta",<br />"Khayalmu", dan "Kusimpan Mimpiku".<br /><br />"Saya dapat banyak inspirasi dari kehidupanku, lingkunganku, dan lain-lain," ucap guru musik grup anak-anak di Serang, Banten, Jawa Barat ini. Album "Inspirasi"<br />dan beberapa karya lain dalam perjalanan kariernya lah yang membuat orang memberinya predikat penata musik, mulai dari menciptakan aransemen untuk banyak<br />pernyanyi, menjadi guru musik, sampai bermain dalam panggung bersama musisi top.<br /><br />Namun, dari banyak karya yang ia ciptakan, masih ada hal yang dimimpikan. Selain memacu musikalitasnya, ia pun ingin mengajak kawan tunanetra lainnya untuk<br />"melek" teknologi. Ia ingin membuat workshop produksi musik digital agar teman-temannya yang lain tidak berakhir di panti pijat. Hendra sendiri memulai<br />dari keterbatasan. Percaya dirinya yang menghasilkan banyak karya. Uang mengikuti seiring kepuasan orang yang memintanya membuat lagu. Seperti dalam lirik<br />Strawberry Fields Forever. <br /><br />Living is easy with your eyes closed<br />Misunderstanding all you see<br />It's getting hard to be someone<br />But it all works out<br />It doesn't matter much to me.DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-56693592559897402682008-10-29T07:43:00.001-07:002008-11-01T18:31:27.976-07:00Wacih Kurnaesih Menulis dengan Rasa<a href="http://64.203.71.11/kompas-cetak/0711/14/Sosok/3976134.htm">Oleh Yenti Aprianti, Kompas, 14 November 2007</a><br /><br /><br />Ia tak pernah tahu bagaimana warna hijau pada lumut. Namun, jika diminta mendeskripsikan lumut, ia bisa menceritakan kelembutan lumut yang menempel pada<br />batu. Ia tak melihat bentuk air, tetapi ia berkisah tentang rasa sejuk yang merayap di atas kepala dengan detail. <br /><br />Sejak kecil ia dikaruniai penglihatan minim sehingga hanya mampu menangkap seberkas bayangan, tetapi perasaan dia mampu melihat lebih dalam tentang sesuatu<br />di sekitarnya. Inilah yang menjadi modal Wacih Kurnaesih (53) sebagai penulis. <br /><br />Sejak muda Wacih menulis apa saja yang ia alami dan rasakan. Pada tahun 2003 ia menjadi juara dalam lomba esai penulisan tentang manfaat huruf braille<br />Bagi tunanetra se-Asia Pasifik. <br /><br />Sebagai tunanetra yang gemar menulis dan membaca, Wacih sangat akrab dengan aksara braille. Apalagi sebagai guru Bahasa Indonesia, ia nyaris menyentuh<br />Braille setiap hari dan mengajarkannya kepada murid-murid di Sekolah Luar Biasa A Negeri Bandung, Jalan Padjadjaran, Kota Bandung, Jawa Barat, sejak 27<br />tahun lalu.<br /><br />Pada esai yang ditulisnya, Wacih bercerita dengan bersemangat tentang bagaimana braille membantunya memperluas wawasan tentang dunia, juga membantunya<br />Menyediakan makanan buat keluarga. <br /><br />"Di awal pernikahan saya menempelkan tulisan beraksara braille pada semua wadah bumbu di dapur agar tak salah memasukkan bahan yang dibutuhkan," kata Wacih<br />yang setelah bertahun-tahun berkeluarga hafal wadah-wadah bumbu di dapur. <br /><br />Braille menjadi penanda yang memudahkan aktivitas para tunanetra. "Braille adalah aksara yang lahir dari sebuah budaya yang sejarahnya sangat panjang.<br />Sepanjang kisah tentang manfaatnya. Itu sebabnya braille harus dilestarikan," ujarnya. <br /><br />Berpisah <br /><br />Perkenalan dengan braille dimulai saat dia berusia tujuh tahun. Wacih dilahirkan di Desa Dayeuh Luhur, kawasan wisata ziarah di Kabupaten Sumedang, Jawa<br />Barat. Ia anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Sejak lahir Wacih mengalami low vision atau keterbatasan penglihatan. Namun, seperti pada tunanetra lain,<br />ia dikaruniai ketajaman rasa. <br /><br />Dengan kelebihan itu, ia tak memiliki kendala mengenali keluarga dan lingkungan. Ia tetap bisa bermain di luar rumah dengan teman sebaya. <br /><br />"Kalau saya main dekat kolam atau sungai, Ibu selalu melarang," kata anak petani tersebut. <br /><br />Wacih diperlakukan sama dengan saudara-saudara yang dapat melihat. Sejak kecil ia sudah tertarik membaca. Sebagian besar saudaranya lelaki dan suka membaca<br />buku cerita persilatan, Wacih pun turut membaca. <br /><br />"Ketika usia saya tujuh tahun, orangtua mendengar cerita tentang sekolah khusus bagi tunanetra di Bina Netra Wyata Guna, Bandung." Jadilah sejak saat itu<br />Wacih tinggal terpisah dari keluarga dan tinggal di asrama. <br /><br />Tinggal jauh dari keluarga tak masalah baginya sebab setelah bisa membaca dan menulis, ia jadi makin suka membaca buku cerita beraksara braille. "Waktu<br />saya kecil, buku cerita braille sangat banyak dan beragam pilihannya," kenangnya sambil menyebutkan salah satu buku favoritnya, Rumah dan Taman. <br /><br />Di kelas Wacih pun senang menulis cerita. Guru dan teman-teman senang membaca tulisan dia. Ia melanjutkan belajar di sekolah pendidikan guru di Bandung.<br />Di sekolah umum tersebut ia sering diminta mengisi majalah dinding sekolah dan berbagai majalah lokal. <br /><br />"Guru saya, Bu Murtilah, menyarankan agar saya kuliah ke jurusan Bahasa Indonesia," cerita Wacih. Saran itu diikutinya. Tahun 1978 ia melanjutkan pendidikan<br />ke jenjang sarjana muda di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung yang kini berganti nama menjadi Universitas Pendidikan Indonesia. <br /><br />Di perguruan tinggi pun banyak teman Wacih yang menyukai tulisannya. Dosennya memuji kemampuan dia mengungkapkan kesejukan embun di kepala, yang katanya,<br />tak mungkin dibuat penulis yang dapat melihat. <br /><br />Bertemu di asrama <br /><br />Sepanjang hidup, ia menjuarai berbagai perlombaan menulis, antara lain penulisan lokal sastra untuk anak-anak yang diselenggarakan Departemen Pendidikan<br />dan Kebudayaan tahun 1983 dan tahun 1986. Karena selalu juara, Wacih sampai tak diizinkan lagi ikut lomba menulis. <br /><br />Kini ia lebih banyak menjadi juri lomba penulisan. Beberapa buku tentang cerita anak karya dia telah diterbitkan, antara lain Pahlawan Lima K dan Menuju<br />Kemenangan. <br /><br />Suaminya, Didi Tarsidi, yang juga tunanetra, mendukung kegemarannya menulis. "Bapak membantu saya mengetik tulisan saya dari huruf braille ke komputer,"<br />kata Wacih tentang Didi. <br /><br />Wacih bertemu Didi, lelaki asal Sumedang itu, di asrama Bina Netra Wyata Guna. Didi adalah kakak kelasnya. Didi aktif sebagai Ketua Persatuan Tunanetra<br />Indonesia (Pertuni). Mereka menikah pada tahun 1980 dan dikaruniai dua anak, Tommy Rinaldi (26) dan Sendy Nugraha (24). Kedua anaknya itu dapat melihat<br />dan telah menjadi sarjana. "Mereka yang sering membacakan artikel di majalah atau koran untuk saya," ucap Wacih. <br /><br />Prihatin <br /><br />Sebagai guru, ia berusaha membagi pengalamannya kepada murid-murid. Ia berharap pengalaman dia bisa menjadi motivasi murid untuk maju. "Setidaknya saya<br />ingin mereka bisa seperti saya. Sebab, tunanetra pun bisa melakukan beragam pekerjaan, asalkan diberi kepercayaan mencobanya," katanya meyakinkan. <br /><br />Akan tetapi, Wacih mengaku prihatin sebab kemampuan membaca dan menulis huruf braille di kalangan murid-muridnya makin hari semakin rendah. Penyebabnya,<br />bacaan beraksara braille sangat jarang dijumpai saat ini. <br /><br />"Waktu saya kecil, buku braille banyak jumlah dan ragamnya. Buku anak-anak hingga dewasa tersedia. Tapi sekarang, buku braille makin sedikit diproduksi.<br />Kalaupun ada, lebih banyak buku pelajaran sehingga anak tidak dapat memuaskan keinginan membaca buku yang mereka sukai," tutur Wacih. <br /><br />Ia berharap pemerintah memerhatikan kebutuhan membaca dan menulis para tunanetra. "Sebab, kemampuan baca tulis itu tergantung banyaknya bahan bacaan yang<br />ada," ujarnya. <br /><br />Selain itu, ketersediaan kertas untuk menulis pun sering kali sangat terbatas di sekolah-sekolah luar biasa untuk tunanetra. Padahal, kertas bekas dari<br />kantor-kantor pun bisa dipakai oleh para tunanetra untuk menulis. <br /><br />"Daripada dibuang lebih baik kertas bekas itu diberikan kepada para tunanetra," ucap Wacih yang mengidolakan penulis novel Marga T dan Mira W. <br /><br />Wacih berharap semakin banyak anggota masyarakat yang bisa melihat bersedia menolong para tunanetra dengan tak berlebihan. Sebaliknya, para tunanetra pun<br />bisa melakukan hal yang sama. <br /><br />"Sebab, pada dasarnya semua manusia diberikan kemampuan untuk saling membantu meski dalam keterbatasan," kata Wacih yang memilih mewarnai hidupnya lewat<br />tulisan. <br /><br />Biodata<br />Nama: Wacih Kurnaesih<br />Lahir: Sumedang, 30 April 1954<br />Orangtua: Haris dan Eneh Hasanah<br />Suami: Didi Tarsidi (56)<br />Anak: Tommy Rinaldi (sarjana teknik) dan Sendy Nugraha (sarjana ekonomi)<br />Pekerjaan: Guru Bahasa Indonesia di SLB A Negeri Bandung<br />Pendidikan:<br />- Sarjana Bahasa Indonesia dari Universitas Terbuka, 1993<br />- Sarjana Muda Bahasa Indonesia dari IKIP Bandung, 1978 <br /><br />Prestasi antara lain:<br />- Juara I penulisan sastra cerita lokal untuk anak, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983, "Pahlawan Lima K"<br />- Juara I penulisan sastra Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1986, "Perjalanan Menuju Kemenangan"<br />- Juara se-Asia Pasifik untuk penulisan esai "Manfaat Braille bagi Tunanetra" , Onkyo, Jepang, 2003DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8401121733390569809.post-64999768370450214212008-10-29T07:27:00.000-07:002008-11-01T18:33:48.044-07:00DIDI TARSIDI, SEMANGAT JUANG DAN KEARIFAN TUNANETRA<a href="http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0502/15/naper/1552068.htm">Oleh Indira Permanasari, Harian KOMPAS, 15-02-2005</a><br /> <br />SIANG itu, di tempat tinggalnya di bilangan Muhammad Toha, Bandung Selatan, Didi memperlihatkan berbagai pekerjaan yang dapat dilakukan bersama komputer<br />dengan program khusus bagi penyandang tunanetra. Program itu menggunakan suara, bukan tanda visual.<br /><br />Didi menggunakan teknologi tersebut untuk menyelesaikan pendidikan masternya. Benda itu menolongnya pula menjalankan tugas sebagai dosen program sarjana<br />dan pascasarjana di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Teknologi itu juga membantu dia sebagai Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni),<br />atau saat harus menyusun makalah jika diminta menjadi pembicara di berbagai forum internasional.<br /><br />Dalam tahun 2004 saja, Didi bisa mengunjungi sekitar enam negara untuk menjadi pembicara. Terlebih lagi sejak Desember tahun lalu dia terpilih sebagai<br />Wakil Presiden The World Blind Union untuk Asia Pasifik. Didi membuktikan bahwa "kegelapan" tak menghalangi langkahnya.<br /><br />"Manusia lebih banyak persamaan daripada perbedaannya. Perbedaan itu sama saja dengan orang pendek dan tinggi. Mungkin Anda harus menggunakan komputer<br />dengan bantuan mata, sementara saya dengan bantuan pendengaran. Tapi hasilnya sama. Tunanetra harus menyikapi kondisi yang disandangnya bukan penghambat<br />terbesar," kata Didi di rumahnya yang sederhana tapi bersih.<br /><br />Kesadaran itu umumnya timbul setelah banyak berinteraksi. Itu pula yang membuat Didi sebagai pendidik getol menganjurkan pendidikan inklusi, yakni anak<br />berkebutuhan khusus bersekolah di sekolah umum dalam berbagai forum.<br /><br />Dalam tesisnya untuk meraih master di bidang pendidikan luar biasa, yakni peranan teman sebaya di dalam perkembangan anak tunanetra, dia percaya teori<br />bahwa teman sebaya berperanan besar dalam perkembangan anak. Jika sejak awal anak tunanetra bergaul dengan teman sebayanya, maka perkembangannya pada masa<br />dewasa lebih baik.<br /><br />Sikap orangtua, kata Didi, sangat memengaruhi. Kalau orangtua menerima ketunanetraan anaknya, maka anak diberi kesempatan bergaul dengan sebayanya. Atau<br />sebaliknya, kalau mereka memandang anaknya sebagai orang berbeda.<br /><br />LAHIR di Sumedang, 1 Juni 1951, Didi mendapatkan pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) A Bandung, Jalan Pajajaran, sejak tingkat dasar hingga menengah<br />pertama. Penglihatannya hilang sejak usia lima tahun karena suatu infeksi. "Saya berkembang sebagaimana anak umumnya. Saya belajar tulisan braille, seperti<br />anak lain belajar tulisan biasa," paparnya.<br /><br />Dia melanjutkan ke sekolah pendidikan guru (SPG). Ujarnya, "Saya bergaul dengan orang yang tidak banyak mengenal tunanetra. Itu jembatan bagi saya belajar<br />bersama dengan anak yang dapat melihat dan bermasyarakat lebih luas."<br /><br />Saat masuk UPI (dulu namanya masih IKIP Bandung) Jurusan Bahasa Inggris, tahun 1973, ia satu-satunya tunanetra di angkatannya. Didi <br />berkeyakinan, pada hakikatnya manusia berhati baik. Terbukti, lama kelamaan sikap warga kampus kepadanya bertambah baik, seiring dengan semakin mengenalnya.<br /><br />Sebagai orang baru, kesulitan awal ialah berorientasi dengan lingkungan. "Di IKIP saya pernah kecebur selokan karena tidak <br />terorientasi dengan baik. Tentu pengalaman yang tidak enak, tetapi saya melihatnya sebagai proses," kenangnya.<br /><br />Kesulitan lainnya adalah mengakses papan tulis. Perlahan kendala itu terjembatani. Dosen mulai ikut memperhatikan. Misalnya, waktu menulis di papan sekaligus<br />mengucapkan apa yang dituliskan. Perkembangan teknologi juga membantu tunanetra mengatasi kesulitannya. Mulai dari buku braille, perekam suara, video compact<br />disc hingga belakangan ada software komputer khusus penyandang tunanetra.<br /><br />Saat menempuh gelar master Didi semakin mandiri. Dia menggunakan komputer dan scanner untuk membaca buku teks. Begitu teks masuk bisa diakses dengan komputer<br />berprogram khusus.<br /><br />Sampai kemudian, dia berhasil menjadi pengajar di UPI Bandung. Untuk program sarjana dia mengajar ortopedagogik (ilmu pendidikan luar biasa), braille,<br />orientasi mobilitas serta bahasa Inggris. Di program pascasarjana, Didi mengajar pengantar pendidikan inklusif dan pengembangan kesadaran masyarakat. Sebagian<br />besar mahasiswanya dapat melihat dan beberapa di antaranya tunanetra. Dia selalu menyiapkan handsout untuk disajikan dengan overhead atau powerpoint. Handsout<br />dalam huruf braille bagi Didi, sedangkan mahasiswa dalam tulisan biasa.<br /><br />LEWAT kehidupan keluarganya, Didi juga bersaksi bahwa tunanetra bukan warga kelas dua. Istri Didi juga seorang tunanetra bernama Wacih dan kini menjadi<br />guru bahasa Indonesia di sebuah sekolah luar biasa. Wacih mengenyam pendidikan hingga tingkat sarjana.<br /><br />Bagi Didi, Wacih sangat istimewa, termasuk masakannya. "Wacih pandai memasak apa saja, menggoreng sampai merebus. Dia tahu persis kapan tahu dan tempe<br />sudah harus dibalik dan cara membalikkannya. Itu saya tidak akan bisa," kata Didi sambil tertawa kecil.<br /><br />Dari perkawinannya tersebut, lahir dua buah hati dengan penglihatan sempurna, yakni Tommy Rinaldi (23) yang kuliah di Jurusan Biologi Universitas Padjajaran<br />(semester akhir), dan Sandy Nugraha (21) yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Pasundan.<br /><br />Didi dan Wacih banyak menggunakan kontak fisik dan audio dengan anak mereka. Keduanya bergantung pada perabaan dan pendengaran. Satu hal yang sangat dijaga<br />ialah kebersihan anak-anak sewaktu kecil. "Kalau anak kami tampak kotor, orang akan mengatakan, anak orang gak liat sih. Padahal, anak pada umumnya bisa<br />kotor karena suka bermain," katanya.<br /><br />Pria penggemar musik jazz itu lalu bercerita, anak-anaknya ketika kecil berpersepsi seolah Didi dan Wacih melihat dengan tangan. "Saya ingat ketika Tommy<br />menggambar saat berumur dua tahun. Dia bilang, "Paà Pa... ini gambar perahu orang mancing." Lalu dia ambil tangan saya dan dia rabakan, "Ini perahunyaà<br />ini orangnya." Lalu saya tanyakan, ikannya mana? Ternyata belum ketangkap ha-ha-ha," ungkap Didi geli.<br /><br />Ketika dewasa, kedua anak mereka tersebut menjadi sahabat bagi orangtuanya. Mereka tidak memandang ketunanetraan sebagai suatu yang asing. Demikian pula<br />seharusnya kita.DPP Pertuni Blog Masterhttp://www.blogger.com/profile/06188351480052768562noreply@blogger.com1