• Kembali ke Website Pertuni - www.pertuni.or.id
  • Testimony
  • Berita Tunanetra
  • Blog
  • World Blind Union Publications


  • Buku Tamu



    Selamat datang.

    Anda adalah pengunjung ke
    View My Stats Silakan isi
  • Buku Tamu
  • Terima kasih.
  • Lihat Buku Tamu




  • Blogger Tunanetra

  • Balita Tunanetra - www.balitatunanetra.blogspot.com
  • Didi Tarsidi: Counseling and Blindness – www.d-tarsidi.blogspot.com
  • Rachel: Remang-remang – www.remang-remang.blogspot.com
  • Suratim: Inspirational, Motivational, Business, Financial & Adaptive Service for The Blind – www.blindentrepreneur.wordpress.com
  • Rina Prasarani Alamsyah: www.rina-alamsyah.blogspot.com
  • Asib Edi Sukarsa: Reglet – www.reglet.wordpress.com
  • Yuni Hortensia: Bersama Aku dan Tulisanku – www.yunihortensia.blogspot.com
  • Suryandaru: www.suryandar.blogspot.com
  • Nensi: Karya Sastraku yang Sederhana – www.diksi28.blogspot.com
  • Ai Cahyati: My Daily Notes – www.a-cahyati.blogspot.com
  • Fatmawati: fathie-Luarbiasa – www.fathie-luarbiasa.blogspot.com
  • Hendra: Pianoman75 – www.pianoman75.multiply.com
  • Irwan Dwi Kustanto: Angin pun Berbisik – www.anginpunberbisik.blogspot.com
  • All about Balqiz – www.allaboutbalqiz.blogspot.com
  • Zulkifli: www.kambusong.multiply.com
  • DPD Pertuni Jawa Tengah – www.pertunijateng.blogspot.com
  • Ario Surya: Informasi bagi Tunanetra - www.rio-plb.blogspot.com
  • Chrysanova Dewi: Mata Hatiku - http://www.chrysanova.co.cc/


  • Daftar Isi

  • Rina, Pekerja Tuna Netra di Hotel Bintang 5
  • Lukman Hakim Harahap, S.Ag., Ketua DPD Persatuan Tunanetra Indonesia(PERTUNI ) Sumut
  • Bart Hagen, Hakim Tunanetra
  • Miles Hilton Barber, Pilot Tunanetra Sukses Terbangkan Pesawat Microlight
  • Agung Rejeki Yuliastuti, Tunanetra yang Jadi Psikolog
  • Saharuddin, Tunanetra Pejuang HAM
  • Bambang Basuki, Tunanetra Pendiri Yayasan Mitra Netra
  • Setia Adi Purwanta, Kebutaan adalah Kesempurnaan
  • Angin pun Berbisik: Kumpulan Sajak Cinta
  • Dengan Hati Melihat Dunia
  • Hendra Jatmika Pristiwa: Kami juga Harus Melek Teknologi
  • Wacih Kurnaesih Menulis dengan Rasa
  • DIDI TARSIDI, SEMANGAT JUANG DAN KEARIFAN TUNANETRA




  • Kamis, 30 Oktober 2008

    Setia Adi Purwanta, Kebutaan adalah Kesempurnaan

    Oleh Nur Hidayati. Kompas, Kamis, 05 Juni 2003

    SEBUAH kecelakaan membuat Setia Adi Purwanta mengalami kebutaan total sejak tahun 1976. Seusai masa-masa frustasi, asisten apoteker yang terpaksa mengakhiri kariernya itu mulai memperjuangkan pendidikan dan lingkungan yang terbuka bagi penyandang cacat.
    Bagi Setia (50), cacat fisik bukan ketidakmampuan (disability), melainkan kemampuan yang berbeda (different ability). Kini ia bukan hanya mengajar matematika dan bahasa Inggris di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Bantul, Yogyakarta.
    Setia juga berupaya membangun jaringan advokasi dan pengembangan diri bagi penyandang cacat. Kiprah ini mengantarnya menggali pengalaman di berbagai negara.
    Sepulang mengajar, Setia berkantor di Dria Manunggal, lembaga penelitian dan pemberdayaan penyandang cacat yang ia dirikan pada tahun 1991. United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP) menobatkan lembaga ini sebagai pemenang kedua penghargaan pengembangan sumber daya manusia di Asia Pasifik tahun 2000.
    Dria Manunggal mengupayakan agar penyandang cacat menguasai keterampilan produktif, dari kerajinan tangan, pertanian hidroponik, hingga penguasaan komputer.
    Selain itu, lembaga tersebut juga menjalankan beragam upaya advokasi, antara lain menyusun usulan perundangan lengkap dengan standar teknis aksesibilitas fasilitas umum dari tahun 1996 hingga tahun 1998.
    Di Jalan Malioboro, Yogyakarta, seorang tukang pijat tunanetra mengenal Setia sebagai pemrakarsa yang menggerakkan komunitas seni Malioboro bersama Pemerintah Provinsi DIY, Departemen Perhubungan, dan Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada, membangun jalur penuntun bagi penyandang cacat di sepanjang sisi barat jalan itu.
    Kini, belasan sukarelawan bekerja bersama Setia di kantor Dria Manunggal yang sederhana di Jalan Wates, Yogyakarta. Beberapa di antara para sukarelawan ini berasal dari Jepang dan Perancis.
    Ayah dari tiga anak, salah satunya penyandang tunanetra dan tunagrahita yang ia adopsi sejak bayi ini, dapat dikatakan sebagai aktivis dengan "jam terbang" tinggi.
    Namun, ia tetap melakoni tugas sebagai guru SLB.
    "Mengajar membuat saya dekat dengan anak-anak yang dikatakan cacat itu. Saya kenali betul kelemahan dan ketidakadilan dunia pendidikan bagi anak-anak ini," ujar pegawai negeri sipil ini.
    Setia masih harus bekerja keras mewujudkan impiannya, tetapi kebutaan telah dirasakannya sebagai karunia.
    "TUHAN menciptakan setiap makhluknya dengan sempurna.
    Kebutaan ini adalah kesempurnaan saya sebagai ciptaan Tuhan," katanya.
    Pria kelahiran Madiun tahun 1953 ini sempat terguncang ketika ia mendadak menjadi buta.
    "Mengapa saya yang dibuat buta oleh Tuhan. Padahal, orang yang lebih brengsek dari saya saja enggak dibuat buta," kata Setia mengungkapkan gugatannya ketika itu.
    Di tengah kegalauan, keluarga dan kawan-kawan dekat mendorong Setia meninggalkan Surabaya, kota tempat tinggalnya ketika itu, untuk menempuh studi di Sekolah
    Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) di Yogyakarta.
    "Masa sekolah di SGPLB itu saya masih penuh amarah. Saya bisa bersikap kasar sekali pada guru," tuturnya.
    Kemarahan Setia meleleh ketika ia memulai praktik mengajar sejumlah anak tunanetra di akhir masa pendidikan SGPLB tahun 1978.
    "Anak-anak itu bersekolah, tapi apa yang bisa mereka dapat? Akan jadi apa mereka, hanya jadi tukang pijat?" keluhnya resah.
    Setia tidak mempercayai pola pendidikan yang sepenuhnya eksklusif. Memisahkan penyandang cacat dari masyarakat umum, diyakininya tidak akan membuahkan kemandirian dan pemenuhan hak asasi bagi penyandang cacat.
    "Kalau saya pergi kondangan dan tuan rumah langsung menggiring saya berkumpul dengan sesama tunanetra, bagaimana saya bisa tahu pengantinnya cantik atau enggak?" ujarnya sambil tertawa.
    Berbincang dengan Setia tak akan lepas dari canda. Pria yang menamatkan pendidikan pascasarjana bidang pendidikan di IKIP Yogyakarta (kini Universitas Negeri Yogyakarta) ini tidak lupa menikmati hidup.
    Ia menggemari musik klasik, suka "mendengarkan" film,
    "mendengarkan" matahari terbit ketika berlibur ke pantai, dan menikmati berbagai perjalanan.
    Dengan detail, ia bisa menggambarkan kota-kota yang paling mengesankannya, antara lain Beijing di Cina.
    Tuturnya, "Saya memang tidak bisa melihat, tapi saya bisa merasakan suasana ketika jalan-jalan ke pasar tradisional yang bersebelahan dengan sebuah mal di Beijing itu. Lagi pula, teman diskusi di jalan biasanya tidak susah ditemukan."
    Dukungan sang istri, Suharti (49), tentu luar biasa berarti bagi Setia. Suharti yang sebelumnya mendukung perekonomian keluarga dengan menjahit pakaian pesanan turut belajar di SGPLB. Wanita asal Madiun ini kemudian mengajar di SLB bersama sang suami.
    Setiap hari Suharti memboncengkan suaminya bersepeda motor ke SLB tempat mereka mengajar.
    "Biarpun dapat tumpangan, tapi enggak gratisan, lho.
    Kan, saya yang ngengkol stater-nya," tambah Setia.
    KEYAKINAN akan keadilan Tuhan membuat Setia berpendapat, pada dasarnya tidak ada orang cacat di dunia. Label
    "cacat" yang diberikan masyarakat dan penerimaan diri si penyandang label itulah yang menyebabkan orang menjadi cacat.
    "Padahal, selalu ada tugas yang diemban setiap orang dengan keadaan diri sebagaimana adanya. Seorang yang kehilangan kaki misalnya, punya cara yang berbeda untuk menjalani tugas hidupnya dengan seorang yang lain," jelas Setia.
    Pola diskriminasi yang mengikuti pelabelan itu bukan saja meluas dalam segala aspek kehidupan publik. Namun, Setia memandang diskriminasi dalam keluarga dan lingkungan terdekat pun tak kalah. "Ketika sebelah tangan bayi yang cacat ditutupi selendang saat selamatan kelahiran, diskriminasi sudah dimulai," ujarnya.
    Dunia pendidikan formal, di mata Setia, sering menampilkan salah satu bentuk diskriminasi yang paling mencolok. Ia meyakini, tanpa proses pembelajaran yang baik, pola eksklusif rehabilitatif yang diterapkan pemerintah, misalnya, pada sekolah sejenis SLB, hanya menjadi sebentuk isolasi bagi anak-anak yang dikatakan cacat.
    TAHUN ini UNESCAP memberikan dukungan pada Setia melalui Dria Manunggal, yang ia kelola, untuk mengembangkan komunitas inklusif bagi orang-orang berkemampuan berbeda ini di lima lokasi di Yogyakarta.
    Bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Nasional DI Yogyakarta, uji model pendidikan bagi anak-anak dengan kemampuan berbeda juga dilakukan di enam sekolah dasar dan dua taman kanak-kanak di daerah ini.
    "Bukan hanya anak yang perlu disiapkan dalam pola ini, tetapi juga orang tua, guru, dan sarana," ujarnya.
    Sambil memainkan telepon selular yang selalu ia bawa, Setia berujar, "Kita sering lupa, anak-anak bukan hanya belajar dari guru dan orangtua, mereka juga belajar dari pergaulan dan teman-temannya. Jadi, jangan mencabut mereka dari dunia yang senyatanya, dunia yang apa adanya."

    0 Komentar:

    Posting Komentar

    Berlangganan Posting Komentar [Atom]

    << Beranda